Bali memang unik dan menarik
bagi semua orang, tidak hanya Bangsa sendiri tetapi juga Bangsa-bangsa di
seluruh dunia membicarakan tentang “Bali”.
Salah satu keunikan yang sudah menjadi tradisi umat Hindu Bali dimanapun berada
tidak pernah melupakan prihal; Otonan atau Ngotonin, yang merupakan peringatan
hari kelahiran berdasarkan satu tahun wuku, yakni; 6 (enam) bulan kali 35 hari
= 210 hari. Jatuhnya Otonan akan bertepatan sama persis dengan; Sapta Wara,
Panca Wara, dan Wuku yang sama. Misalnya orang yang lahir pada hari Rabu,
Keliwon Sinta, selalu otonannya akan diperingati pada hari yang sama persis
seperti itu yang datangnya setiap enam bulan sekali (210 hari).
Berbeda dengan peringatan
hari Ulang Tahun yang hanya menggunakan perhitungan tanggal dan bulan saja,
dengan mengabaikan hari maupun wuku pada tanggal tersebut. Misalnya seseorang
yang lahir tanggal 10 Januari, maka hari ulang tahunnya akan diperingati
tiap-tiap tanggal 10 Januari pada tahun berikutnya (12 bulan kalender).
Otonan diperingati sebagai
hari kelahiran dengan melaksanakan upakara yadnya yang kecil biasanya dipimpin
oleh orang yang dituakan dan bila upakaranya lebih besar dipuput aleh pemangku
(Pinandita). Sarana pokok sebagai upakara dalam otonan ini ada1ah; biyukawonan,
tebasan lima, tumpeng lima, gebogan dan sesayut.
Menurut tradisi umat Hindu di
Bali, dalam mengantarkan doa-doa otonan sering mempergunakan doa yang diucapkan
yang disebut sehe (see) yakni doa dalam bahasa Bali yang diucapkan oleh
penganteb upacara otonan yang memiliki pengaruh psikologis terhadap yang
melaksanakan otonan, karena bersamaan dengan doa juga dilakukan pemberian
simbol -simbol sebagai telah menerima anugerah dari kekuatan doa tersebut.
Sebagai contoh : Melingkarkan
gelang benang dipergelangan tangan si empunya Otonan, dengan pengantar doa :
“Ne cening magelang benang, apang ma uwat kawat ma balung besi” (Ini kamu
memakai gelang benang, supaya ber otot kawat dan bertulang besi).
Ada dua makna yang dapat
dipetik dari simbolis memakai gelang benang tersebut adalah pertama dilihat
dari sifat bendanya dan kedua dari makna ucapannya. Dari sifat bendanya benang
dapat dilihat sebagai berikut :
- Benang memiliki konotasi beneng dalam bahasa Bali berarti lurus, karena benang sering dipergunakan sebagai sepat membuat lurus sesuatu yang diukur. Agar hati selalu di jalan yang lurus/benar.
- Benang memiliki sifat lentur dan tidak mudah putus sebagai simbol kelenturan hati yang otonan dan tidak mudah patah semangat.
Sedangkan dari ucapannya doa
tersebut memiliki makna pengharapan agar menjadi kuat seperti memiliki
kekuatannya baja atau besi. Disamping kuat dalam arti fisik seperti kuat tulang
atau ototnya tetapi juga kuat tekadnya, kuat keyakinannya terhadap Tuhan dan
kebenaran, kuat dalam menghadapi segala tantangan hidup sebab hidup ini
bagaikan usaha menyeberangi samudra yang luas. Bermacam rintangan ada di
dalamnya, tak terkecuali cobaan hebat yang sering dapat membuat orang putus asa
karena kurang kuat hatinya.
Dalam rangkaian upacara
otonan berikutnya sebelum natab, didahului dengan memegang dulang tempat
sesayut dan memutar sesayut tersebut tiga kali ke arah pra sawia (searah jarum jam)
dengan doa dalam bahasa Bali sebagai berikut: “Ne cening ngilehang sampan,
ngilehang perahu, batu mokocok, tungked bungbungan, teked dipasisi napetang
perahu “bencah” (Ini kamu memutar sampan, memutar perahu, batu makocok, tongkat
bungbung, sampai di pantai menemui kapal terdampar).
- “Ngilehang sampan ngilehang perahu” bahwa hidup ini bagaikan diatas perahu yang setiap hari harus kesana-kemari mencari sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup ini. Badan kasar ini adalah bagaikan perahu yang selalu diarahkan sesuai dengan keinginan sang diri yang menghidupi kita.
- “Batu makocok” adalah sebuah alat judi. Kita teringat dengan kisah Pandawa dan Korawa yang bermain dadu, yang dimenangkan oleh Korawa akibat kelicikan Sakuni. Jadi hidup ini bagaikan sebuah perjudian dan dengan tekad dan keyakinan yang kuat harus dimenangkan.
- “Tungked bungbungan” (tongkat berlobang) adalah bambu yang dipakai kantihan yakni sebagai penyangga keseimbangan samping perahu agar tidak mudah tenggelam karena bambu bila masih utuh memang selalu terapung. “Perahu hidup ini” jangan mudah tenggelam oleh keadaan, kita harus selalu dapat mengatasinya sehingga dapat berumur panjang sampai memper gunakan tongkat (usia tua).
- “Teked dipasisi napetang perahu bencah” (sampai di pantai menemui perahu / kapal terdampar). Terinspirasi dari sistem hukum tawan karang yang ada pada jaman dahulu di Bali, yakni setiap ada kapal atau perahu yang terdampar di pantai di Bali, rakyat Bali dapat dengan bebas menahan dan merampas barang yang ada .pada kapal yang terdampar tersebut. Maksudnya supaya mendapatkan rejeki nomplok, atau dengan usaha yang mudah bisa mendapatkan rejeki yang banyak.
Demikian
luhurnya makna doa yang diucapkan dalam sebuah upacara otonan bagi masyarakat
Hindu Bali yang dikemas dengan simbolis yang dapat dimaknai secara fisik maupun
psikologis, dengan harapan agar putra -putri yang menjadi tumpuan harapan
keluarga mendapatkan kekuatan dan kemudahan dalam mengarungi kehidupan.
Refrensi
:
I
Wayan Ritiaksa, M.Ag (Denpasar).
0 komentar
Posting Komentar