Pendahuluan
Masalah Padmasana
sudah sering dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan, bahkan melalui Seminar
Kesatuan Tafsir Aspek-Aspek Agama Hindu I Tahun 1974, bertempat di Amlapura,
Kabupaten Karangasem. Judul makalah ketika itu adalah : Bangunan Palinggih
(Padmasana, Meru dan Rong Tiga).
Untuk menghindari adanya suatu tumpang tindih dalam masyarakat,
maka pada kesempatan ini agar dapat memberikan suatu pegangan awal, maka batas
pembicaraan sesuai dengan bangunan yang ada dalam masyarakat, seperti :
1.
Adanya bangunan Padmasana memakai
hiasan satu ekor naga dan ada pula yang menggunakan dua ekor naga.
2.
Penggunaan hiasan garuda
bervariasi, ada yang seekor pada bagian belakang badan, tetapi ada pula yang
tiga ekor.
3.
Ada yang
menggunakan hiasan Arca Dewa Asta Dikpalaka, tetapi ada juga yang tidak.
4.
Ada pula
yang menggunakan angsa pada bagian belakang dari badan, ada pula yang tidak
memakai.
5.
Ada yang
dikelilingi kolam pada dasarnya dan ada pula yang tidak memakainya.
Demikianlah beberapa
permasalahan variasi bentuk serta pola hiasan Padmasana, di bawah ini akan
diuraikan yang berkaitan dengan masalah seperti tersebut di atas, sehingga
nantinya ada suatu pedoman awal, mengenai bentuk dan hiasan Padmasana.
-
Pengertian
Padmasana terdiri dari dua suku kata, yaitu “Padma” dan “Asana“. Padma artinya teratai, lotus, pangkaja dan Asana artinya tempat duduk. Jadi artinya
tempat duduk teratai atau tempat duduk Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa.
Padmasana mengandung pengertian sebagai lambang Bhuwana Agung sebagai stana Ida
Sanghyang Widhi Wasa.
Padmasana dapat dibedakan atas :
Berdasarkan lokasi (menurut
pangider-ideran), terbagi dalam 9 buah,
berdasarkan Lontar Wariga Winasasari :
1.
Padma Kencana, di timur menghadap
ke barat.
2.
Padmasana, di selatan menghadap
ke utara.
3.
Padmasana Sari, di barat
menghadap ke timur.
4.
Padmasana Lingga, di utara
menghadap ke selatan.
5.
Padmasana Asta Sadhana, di
tenggara menghadap ke barat laut.
6.
Padmanoja, di barat daya
menghadap ke timur laut.
7.
Padmakaro, di barat laut
menghadap ke tenggara.
8.
Padmasaji, di timur laut
menghadap ke barat daya.
9.
Padmakurung, di tengah ma-rong
tiga, menghadap ke lawangan.
Berdasarkan atas Rong (ruang) dan Palih, dapat dibedakan atas :
1.
Padmasana Anglayang, ma-rong
tiga, mempergunakan Badawangnala, dengan palih 7.
2.
Padma Agung, ma-rong dua,
mempergunakan Badawangnala dengan palih 5.
3.
Padmasana, ma-rong satu,
mempergunakan Badawangnala, dengan palih 5.
4.
Padmasari, ma-rong satu, dengan
palih tiga (palih taman = bawah; palih sancak = tengah; palih sari = atas),
tidak mempergunakan Badawangnala.
5.
Padma Capah, ma-rong satu, dengan
palih 2, palih taman dan palih capah, tidak mempergunakan Badawangnala.
Keterangan
:
Padmasari dan Padma
Capah, dapat ditempatkan menyendiri dan berfungsi pangayatan/ panyawangan dan
mengenai padagingan pada ke dua Padma ini hanya pada dasar dan puncak saja.
Sedangkan Padma yang lain, yang mempergunakan Badawangnala, padagingannya pada
dasar, madhya dan puncak.
-
Padmasana – Sthana Hyang Widhi
Padmasana – Sthana Hyang Widhi
Dalam pustaka Arjuna
Wiwaha : saksat dresta ardhanareswari
ring padmasana mani. (Terlihat bagaikan Hyang Siwa dengan
Sakti-Nya, yang berada di atas permata tempat duduk teratai).
Dalam Kaurawasrama : Tingkahing lungguhta yan tekang
patapanta padmasana ngarannya. ( Suatu cara duduk di pertapaan
namanya padmasana).
Dalam Purwaka Weda
Siwa, disebutkan : OM kurmagniya namah, OM Anantasanaya namah, OM
catur iswaraya namah, OM Padmasanaya namah.
Sedangkan dalam
Wrehaspati Tattwa, disebutkan Padmasana adalah lingga Hyang Sadasiwa yang
Saguna Brahma.
-
Latar belakang pendirian Padmasana adalah bertitik tolak dari Adi Parwa, yakni Ksirarnawa Manthana.
Latar belakang pendirian Padmasana adalah bertitik tolak dari Adi Parwa, yakni Ksirarnawa Manthana.
1.
Gunung Mandharagiri, disimbulkan
dengan bangunan Padmasana itu sendiri.
2.
Ksirarnawa, disimbulkan dengan
kolam, yang mengelilingi bangunan.
3.
Badawangnala, disimbulkan dengan
kura-kura atau penyu sebagai dasar Padmasana.
4.
Hyang Wasuki, diwakili dengan
seekor naga, yang membelit badan sampai dasar bangunan.
5.
Arca Asta Dewa Dikpalaka, simbul
dari para Dewa yang memutar gunung Mandhara.
6.
Burung Garuda, pada bagian
belakang bangunan (lambang pembebasan).
7.
Mahkota teratai, lambang sthana
Hyang Widhi dan hulonnya ada pahatan Hyang Acintya.
-
Sejarah Perkembangan
Pada Pura-Pura yang
tergolong tipe kuno di Bali, tidak pernah
dijumpai adanya Padmasana, yang ada bangunan berupa : Gedong, Meru, Tepas dan
sejenisnya. Maka Padmasana itu rupa-rupanya timbul belakangan, yakni pada masa
pemerintahan Dalem Waturenggong, abad ke-16.
Pada masa Bali Kuno
abad 10 – 14, belum dikenal kata Pura untuk menyebutkan tempat suci di Bali. Tetapi menurut sumber-sumber prasasti untuk
menyebut tempat suci di Bali dipakai kata Hyang. Seperti
: Hyang Api, Hyang Kehen, Hyang Tanda, Hyang Karimama, Hyang Turunan. Diduga
kata Pura untuk menyebut tempat suci muncul baru kemudian ketika pemerintahan
dinasti Sri Kresna Kepakisan.
Menurut
sumber-sumber lontar disebutkan ketika pemerintahan Dalem Baturenggong 1460 –
1551 Masehi di Smarapura. Datanglah di Bali seorang tokoh agama dan sastrawan
dari Daha (Kediri), bernama Danghyang Nirartha, setelah
kerajaan Majapahit runtuh, diserang oleh kerajaan Islam Demak, pada tahun 1519
Masehi. Akhirnya beliau pindah dari Majapahit menuju Pasuruhan dan dari sini
pindah lagi ke Blambangan dan kemudian menuju Bali,
serta turun di Pantai Purancak, Kabupaten Jembrana.
Danghyang Nirartha
setelah ada di Bali, disebut dengan Danghyang Dwijendra, Padanda Sakti Wawurawuh,
dikatakan sebagai peletak dasar bangunan Padmasana di Bali. Dalam Dwijendra
Tattwa dan Dharmayatra Danghyang Dwijendra, ada diceritrakan sebagai berikut :
Dalam perjalanan beliau dilukiskan beliau masuk dalam mulut naga
dan di dalam mulut naga itu beliau melihat ada bunga padma tetapi sayang tidak
ada sarinya. Rupa-rupanya riwayat ini mengandung arti kias, yang dimaksud naga
itu adalah Pulau Bali (naga=bhumi) yang dimasuki oleh beliau. Setelah sampai di
Bali, beliau menjumpai Pura-Pura yang mempunyai bangunan suci Gedong, Meru yang
bertujuan untuk memuja Dewa, tetapi belum ada bangunan untuk memuja Sang Hyang
Widhi, rupa-rupanya ini dimaksud dengan bunga Padma tanpa sari.
Di Bali beliau
menjadi pendeta kerajaan (Bhagawanta) dari raja Dalem Baturenggong dengan
sisyanya bernama I Gusti Dawuh Baleagung.
Menurut catatan sementara tidak kurang dari 35 buah Pura yang dikaitkan dengan
Dharmayatra beliau, mulai dari Pura Purancak di barat sampai Pura Pojokbatu di
Bali Utara.
Di dalam denah suatu
Pura Padmasana lazim ditempatkan di bagian “hulu” di timur laut dari jeroan,
karena arah tersebut dipandang arah yang suci sebab mengarah kepada matahari
terbit dan ke gunung.
-
Filosofis Padmasana
Filosofis Padmasana
Melihat bentuk dan
pola hiasannya dari Padmasana, menunjukkan makna simbolis keagamaan yang
bersumber dari kitab Adi Parwa, pada bagian ceritra Pemutaran Gunung Mandhara
Giri “Ksirārnawa Manthana”, dengan tujuan utamanya mendapatkan amertha (air
kehidupan abadi). Untuk dapat membandingkan ceritra ini dengan bentuk dan pola
hiasan Padmasana, maka ada baiknya ceritra pemutaran Mandhara Giri, diuraikan
secara singkat :
·
Para Dewa dan Daitya berunding di
puncak Gunung Mahameru, dengan tujuan untuk mendapatkan amertha. Tatkala
perundingan para Dewa itu, Hyang Narayana (Wisnu), berkata usahakanlah memutar
lautan susu itu (ksira arnawa), sebab laut itu tempat amertha. Anjuran Dewa
Wisnu itu disambut dengan gembira oleh para Dewa, Daitya dan pergi ke lautan
Ksira.
·
Kemudian Gunung Mandhara yang
sangat tinggi (sebelas yojana), dicabut oleh Hyang Anantabhoga dan terbawa
dengan segala isinya serta dijatuhkan di Laut Ksira. Gunung itu nantinya
berfungsi sebagai tongkat pemutar.
·
Akupa seekor penyu yang merupakan
kurmaraja yang disebut juga Badawang, sebagai penjelmaan Dewa Wisnu, bertugas
menahan Gunung Mandhara agar tidak tenggelam.
·
Hyang Basuki dipergunakan sebagai
tali, membelit pada pangkal gunung sampai di atas Badawang dan Hyang Indra
duduk di atas gunung supaya tidak melambung ke atas.
·
Para Dewa lalu mulai menarik
Hyang Basuki sebagai tali pengikat gunung Mandhara. Para Dewa di bagian ekor
naga, golongan Daitya ada di bagian kepala. Setelah melakukan tugas dengan
sungguh-sungguh, keluarlah berturut-turut : ardhacandra, Bhatari Sri, Dewi
Laksmi, Kuda Ucchaisrawa, Kastubamani. Terakhir keluarlah Dhanwantari membawa
Sweta Kamandhalu, tempat amertha, yang diambil oleh para Daitya.
·
Dewa Wisnu berpikir bagaimana
caranya mendapatkan amertha itu dari para Daitya. Akhirnya ia menjelma menjadi
wanita cantik bernama “Anawadyangga Wayawa”. Melihat putri itu daitya sangat
senang hatinya dan menyerahkan amertha itu supaya dipangku. Putri itu lalu
pergi dengan membawa amertha dan kemudian menjelma menjadi Dewa Wisnu kembali.
Apabila
diamati ceritra tersebut di atas dan dihubungkan dengan bentuk dan hiasan yang
terdapat pada Padmasana adalah merealisasikan isi dari ceritra pemutaran
Mandharagiri, seperti :
·
Gunung Mandhara, disimboliskan
dengan bangunan Padmasana itu sendiri.
·
Ksirarnawa, disimboliskan dengan
kolam yang mengelilingi bangunan Padmasana.
·
Badawangnala, yang disimboliskan
dengan kura-kura, yang berada pada dasar Padmasana.
·
Hyang Basuki, disimboliskan
dengan seekor naga yang membelit badan sampai dasar bangunan.
·
Para Dewa pemutar gunung
Mandhara, disimboliskan dengan arca-arca Dewa Astadikpalaka.
·
Garuda, dilambangkan dengan
pahatan burung garuda pada bagian belakang badan bangunan.
·
Sebagai stana Hyang Widhi,
dilambangkan dengan pahatan Hyang Acintya pada bagian depan dari ulon.
Dengan dasar-dasar bukti tersebut dapatlah diperkirakan bahwa
latar belakang filosofis pendirian bagunan Padmasana adalah ceritra pemutaran
Gunung Mandhara, yang terdapat dalam Mahabharata (Astadasaparwa), bagian
pertama yakni Adi Parwa. Oleh karena itu menelusuri bentuk dan hiasan Padmasana
hendaknya bertitik tolak dari ceritra tersebut di atas.
-
Bentuk dan hiasan
Bentuk Padmasana
dapat dibagi 3 (tiga) bagian, yaitu : dasar, badan (madhya) dan puncak.
Pembagian atas tiga bagian ini dilandasi oleh konsepsi Tri Loka, yakni dunia
bawah, tengah dan atas.
Puncak Padmasana,
secara umum dapat dikatakan berbentuk kursi tempat duduk, tidak memakai atap,
karena Hyang Widhi tanpa batas meliputi alam semesta, yang disebut wyapi-wyapaka nirwikara.
Pada puncak Padmasana, dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu : ulon, tabing,
apit lawang dan badan dara. Pada ulon bagian belakang merupakan sandaran
dihiasi dengan patra punggel dan di depannya dihiasi dengan gambar Acintya,
sebagai lambang ke-Esa-an Hyang Widhi. Sanghyang Acintya adalah Sanghyang
Tunggal, yang diwujudkan dengan telanjang dengan sikap anyuku tunggal, dengan
kedua tangan di muka seperti sikap samadhi. Tabing disebut juga tebeng (bahasa Bali), bentuk pengapit tahta, semacam sandaran tangan,
bentuk bervariasi, ada yang polos, ada yang berbentuk naga, sedangkan apit
lawang, adalah bentuk tiang pada bagian depan dari tabing. Badan Dara, adalah
bentuk leher yang ada di bawah kursi tahta.
Badan Padmasana,
terdapat berbagai macam bentuk hiasan, seperti : karang boma, karang asti, karang paksi dan
berbagai jenis pepatran dan pepalihan. Hiasan yang lain adalah arca-arca Dewa
Astadikpalaka, yaitu delapan dewa penguasa kiblat, seperti : Iswara, Brahma,
Mahadewa, Wisnu, Mahesora, Rudra, Sangkara dan Sambhu. Pada bagian belakang
badan Padmasana ada pahatan burung garuda, yang merupakan wahana Dewa Wisnu.
Dalam Adi Parwa diceritrakan garuda adalah penyelamat ibunya Dewi Winata. Ada juga pahatan burung
angsa, sebagai simbolis kebijaksanaan, yang mampu membedakan yang yang baik dan
buruk, disamping itu angsa sebagai wahana dewi Saraswati sakti Dewa Brahma,
karena simbolis kesucian.
Dasar Padmasana,
berbentuk Badawangnala di Bali ada yang menyebut empas, penyu, baning, tri
bulus, kurma, yang merupakan awatara Dewa Wisnu. Hal itu dapat dibedakan
menurut jumlah jari kukunya, seperti : Eka Penyu, berjari/kuku satu ; Dwi
Baning, berjari/kuku 2; Tribulus, berjari/kuku tiga; Catur Kurma, berjari/kuku
empat; Panca Empas, berjari/kuku lima dan Sad Badawangnala, berjari/kuku enam.
Dasar yang merupakan
Badawangnala, dililit oleh seekor naga Basuki, di mana kepalanya berdiri di
belakang kepala dari Badawangnala. Suatu variasi sering muncul dimana hiasan
kepala naganya muncul dua buah. Oleh karena itu sering timbul pertanyaan yang
mana benar, apakah satu ekor naga atau dua ekor naga. Untuk menjawab itu
kembalikanlah ke dalam ceritra Adi Parwa, bahwa yang mengikat gunung Mandhara
adalah Naga Basuki, yang hanya seekor. Dengan demikian mendekati kebenaran
adalah penggunaan seekor naga.
Merupakan suatu
kebiasaan yang ada kita lihat, Padmasana dikelilingi oleh kolam, karena kolam
adalah lambang Ksirarnawa, tempat gunung Mandhara diputar.
-
Kesimpulan :
1.
Padmasana adalah lambang sthana
Hyang Widhi Wasa/Sanghyang Sadasiwa.
2.
Latar belakang pendirian bangunan
Padmasana, diambil dari Adi Parwa, Ksirārnawa Manthana.
3.
Dasarnya berbentuk Badawangnala,
dengan dibelit oleh seekor naga, bernama naga Basuki.
4.
Pada bagian badan Padmasana
dipahatkan hiasan : burung garuda, angsa, arca Asta Dewa Dikpalaka, selain
papatran, seperti : karang hasti, boma, manuk, patra punggel, sari dan
lain-lain.
5.
Pada bagian depan hulon,
dipahatkan pahatan Hyang Acintya, lambang sthana Hyang Widhi.
6.
Tatacara pembuatan, mengacu pada
lontar : Asta Kosala-Kosali dan Asta Bhumi.
7.
Upacara dan upakaranya mengacu
pada lontar : Dewa tattwa, Wariga Catur Winasa Sari, Usana Dewa dan lain-lain.
Sumber
Penulis : I Wayan Adi
Sudiatmika
Pada : panbelog.wordpress.com
0 komentar
Posting Komentar