Perkawinan menurut hukum Hindu


I. Pengertian tentang Hukum Hindu.

Hukum adalah kaidah (aturan) yang telah ditetapkan oleh agama yg diyakininya khususnya dalam hal ini adalah agama Hindu karena kontekstualnya kita akan membicarakan Hindu, sesuai dengan judul diatas.

Hukum ini mutlak harus dipatuhi, sebagai panduan didalam mengatur tata hidup, baik dalam kehidupan individu, keluarga dan masysrakat pada umumnya.

Menurut agama hindu banyak sekali sumber sumber hukum yang dipakai sebagai rujukan dalam usaha mencari penyelesaian permasalahan yang dihadapi, sesuai dengan kontecs-nya.


Adapun sumber sumber hukum menurut hindu ada yg tertulis maupun yg tidak tertulis, Hukum hukum hindu yang tertulis sering disebut dengan sastra dresta yg banyak sekali sastra – sastra hindu yg mengatur tentang hal ini, salah satu contoh adalah Manawa Darma sastra, Palasara sastra, dsbnya sedangkan yg tidak tertulis disebut dengan Loka dresta dan atmanastuti (yang merupakan mufakat yg terbaik merupkan bisamaorang banyak dilingkungan sekitarnya)
Ingat Hukum adalah merupakan product jaman, sudah pasti hukum itu akan menyesuai kan diri sesuai dgn tuntutan jaman, oleh karena itulah undang undang (hukum itu) perlu adanya suatu revisi.
Berbeda dengan Veda-Wahyu sabda tuhan: tak pernah berawal dan berakhir selalu relevant sepanjang jaman.


1. Pengertian pawiwahan

Dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).

Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain:

a.   Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.



b.    Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan tentang definisi perkawinan sebagai berikut: ‘Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”(Subekti, 1985: 23).

c.   Wirjono Projodikoro, Perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara (Sumiarni, 2004: 4).

d. Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan tersebut maka Harry Elmer Barnes mengatakan Perkawinan (wiwaha) adalah sosial institution atau pranata sosial yaitu kebiasaan yang diikuti resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. tentang pranata sosial untuk menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis, ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia, semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).

e.  Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu menyangkut persoalan kerabat, keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi dan begitu pula menyangkut persoalan keagamaan Dengan terjadinya perkawinan, maka suami istri mempunyai kewajiban memperoleh keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat. Perkawinan menurut hukum Adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara pria dengan wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum adat yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami. Bukan itu saja menurut hukum adat, perkawinan dilaksanakan tidak hanya menyangkut bagi yang masih hidup tapi terkait pula dengan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu dalam setiap upacara perkawinan yang dilaksanakan secara Adat mengunakan sesaji-sesaji meminta restu kepada leluhur mereka. (Sumiarni, 2004:4). 



f.    Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV dijelaskan bahwa “perkawinan ialah ikatan sekala niskala (lahir bathin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya alaki rabi) “(Parisada Hindu Dharma Pusat, 1985: 34).
        Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa: pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat.


II. Tujuan perkawinan/Pawiwahan menurut Hindu.


Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing telah menyadari perannya masing-masing.

Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:
“Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah
Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah”
“Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).

Menurut I Made Titib dalam makalah “Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada keluarga” disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal yaitu:

a.   Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña,  sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña dapat dilaksanakan secara sempurna.

b.   Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).

c.   Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.

Lebih jauh lagi sebuah perkawinan (wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102 sebagai berikut:

“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”
“Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.
“Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,
Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”
“Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain” (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).

Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut:

“Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca,
Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam”
“Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal” (Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan wiwaha menurut agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).

Perkawinan menurut hindu sangat dimuliakan, karena dalam setiap perkawinan dipandang sebagai suatu jalan untuk melepaskan derita orangtuanya, (leluhurnya) diwaktu mereka telah meninggal. Karena itu perkawinan dan dilahirkannya anak (suputra) merupakan perintah agama yang dimuliakan. Dengan dilahirkan nya anak dipandang sebagai jalan untuk menebus hutang (Rna) dan pelaksanaan perkawinan adalah dharma (kewajiban) hal ini ditegaskan dalam menawa dharma sastra sebagai berikut.

-    Untuk menjadikan Ibu, maka wanita diciptakannya menjadi IBU dan pria diciptakannya menjadi BAPAK, dan karena itu Weda akan diabadikan oleh dharma yang harus dilakukan oleh wanita – Pria sebagai pasangan suami istri.
-    Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini dianggap hukum yang tertinggi sebagai pasangan suami istri.
( Weda Smrti IX.101)
-    Hendaknya laki laki dan perempuan yang terikat dalam tali perkawinan mengusahakan untuk tidak jemu jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan melanggar kesetiaan antara yang satu dengan yg lainnya.
( Weda Smrti IX.101 )
Berdasarkan kutipan sloka tersebut diatas jelaslah behwa perkawinan menurut hukum agama Hindu adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam seumur hidupnya. Keluarga (rumah tangga) bukan semata mata tempat berkumpulnya laki laki dan perempuan sebagai pasangan suami istri dalam suatu rumah, namun sesungguhnya terbinanya suatu kepribadian, ketentraman lahir dan bhatin, hidup rukun, damai dalam upaya menurunkan tunas muda (suputra / suputri).


III. Perkawinan menurut UU No 1 tahun 1974  Bab I pasal 1.

Menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian dalam pasal 2 menyebut kan, perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing masing, hukum agamanya dan kepercayaannya itu.

Berumah tangga ddalam masyarakat Hindu dipersepsikan kedalam Tri Hita Karana, yaitu keselarasan (keharmonisan) hubungan yang menyebabkan kebahagiaan yang meliputti keserasian hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan), keserasian hubungan antara manusia dengan manusia (Pawongan) dan keserasian hubungan manusia dengan alam semesta lingkungan (Palemahan) dengan demikian konsep rumah tangga menurut Hindu mengajarkan hubungan yang seimbang diantara tiga sumber kesejahteraan dan kedamaian ini. Diharapkan keluarga Hindu selalu berusaha menjaga keharmonisan hubungan diantara ketiga unsur tersebut.

Kehidupan rumahtangga merupakan awal dari bersatunya dua jiwa (dua Pribadi) antara seorang pria dan wanita yang disahkan dengan melakukan wiwaha samskara (Upacara pernikahan-yang disimbulkan dalam sesayut SADAMPATI) Masa berumah tangga menurut ajaran Hindu, disebut Grehasta, yaitu tahapan kehidupan yang ke II dalam ajaran catur asrama dimana dalam tujuan hidupnya diprioritaskan untuk mendapatkan Harta dalam memenuhi kama yang dilandasi dengan dharma. Kama adalah salah satu media untuk mendapatkan kebahagiaan dan kama jangan sampai memperbudak sang diri, namun kama kiranya harus dikendalikan sehingga menjadi wahana untuk mencapai tujuan.


IV. Legalitas Perkawinan menurut hukum Hindu.

Banyak macam prkawinan yang kita dengar, adapun macam macam perkawinan yang dimaksud itu sebenarnya tergantung dari tata-cara bagaimana sampai menjadi perkawinan itu sendiri, secara umum perkawinan itu bisa dibedakan menjadi 3 yaitu :

1. Monogami : Seorang pria beristrikan seorang wanita.
2. Polygamy : Seorang pria beristrikan lebih dari satu orang wanita.
3. Polyandri : Seorang Wanita bersuamikan lebih dari satu suami

Didalam manu-smerti lebih jauh memaparkan kedalam bentuk perkawinan yang dibagi kedalam dua golongan yaitu :

a) Golongan perkawinan yang dibenarkan dianjurkan menurut hindu
- Brahma Wiwaha
- Daiwa Wiwaha
- Arsha Wiwaha
- Prajapatya Wiwaha
- Gandarwa Wiwaha

b) Golongan perkawinan yg tidak dibenarkan dan harus dihindari
- Asura Wiwaha
- Paisaca Wiwaha
- Raksasa Wiwaha

Berikut ini kami jelaskan Masing masing type Wiwaha yang tersebut diatas.

# Brahma wiwaha
Suatu cara yg terhormat yang dilakukan oleh keluarga pihak wanita, yang mengawinkan anaknya dengan seorang peria yg berpendidikan dan berbudi luhur, Pemberian ini bukan merupakan suatu paksaan namun adalah suatu kewajiban yg dirasakan oleh orang tua mempelai wanita.
Cara ini adalah merupakan perkawinan yg paling terhormat menurut system perkawinan hindu, dengan cara anak perempuan yg dihiasi sedemikian rupa, kemudian diserahkan kepada pemuda, beserta keluarga yang datang untuk perkawinan tersebut.

# Daiwa wiwaha
Perkawinan dengan cara pihak laki-laki menerima gadis dari keluarga perempuan sebagai pemberian atas jasa atau tindakan yang dikerjakan oleh pihak Pemuda. Biasanya pemberian ini diberikan kepada pendeta, yg membantu menyelesaikan upacara dirumah keluarga wanita, karena ini sebagai pemberian yg terhormat, maka menurut hukum Hindu tidak melarang cara wiwaha ini.

# Arsha Wiwaha.
Adalah suatu wiwaha karana adanya hubungan timbal balik dari kedua belah pihak, dimana keluarga wanita melepaskan anaknya untuk kawin dengan pemuda idaman dan dari pemuda memberikan penghargaan sepasang lembu sebagai kewajiban dalam dharma untuk meminang seorang gadis, dalam hal ini tidak ada unsur jual beli atau barter, hal ini diterima atas dasar kesepahaman dari kedua belah pihak.

# Prajapatya wiwaha
adalah bentuk perkawinan dengan menyerahkan seorang putri oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua mempelai dengan mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan dharmamu dan setelah memberi penghormatan kepada mempelai laki-laki.

# Gandarwa wiwaha
Bentuk wiwaha yang dilandasi atas dasar cinta, dimana calon pasangan suami lan istri berhubungan secara langsung, dan kedua pihak orang tuanya sepertinya tidak tau menau (meskipun mungkin mengetahuinya).
Contoh ini amat banyak dijumpai di Bali, yaitu dalam bentuk NGEROROD, atau seperti yang dilakukan dalam kisah mahabrata. SAKUNTALA & Raja DUSYANTA.

# Raksasa
Raksasa Wiwaha.uatu bentuk perkawinan yg dilakukan dg cara memaksa si wanita oleh pihak pemuda itu, walaupun perempuan itu menangis lantaran tidak setuju, dan bahkan terjadi perkelahian antara kedua belah pihak hingga terjadi kekerasan pisik, bentuk perkawinan ini dikatakan MEBLEGANDANG.
Karena sifatnya memaksa maka bentuk perkawinan semacam ini adalah yg dilarang.

# Paisaca Wiwaha.
Bentuk perkawinan dengan cara paksaan dan kekerasan, melalui obat bius, penenang memberikan minuman yang memabukan, atau dengan cara licik, kemudian gadis diperkosa sedemikian rupa, sehingga terjadilah senggama diluar kesdarannya, hal ini juga dikatakan perkawinan yang dilarang.
Demikianlah beberpa bentuk perkawianan yang dilegalkan menurut ajaran agama hindu maupun yang dilarang dan bertentangan agama hindu, yang mana dibutuhkan kearifan didalam kita menelaahnya.


2. Sah dan Syarat pawiwahan
System perkawinan di Indonesia dianggap sah selain telah memenuhi syarat-syarat yang telah diatur oleh agama masing-masing juga harus terpenuhinya administrasi untuk pemerintah. Oleh karena itu dalam setiap perkawinan, harus dilakukan pencatatan perkawinan oleh petugas catatan sipil

Hal tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 dan 2 yang berbunyi;“perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu serta tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Namun, R. Soetojo Prawirohamidjojo mengatakan bahwa untuk sahnya perkawinan, hanya ada satu syarat saja yaitu apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sedangkan pencatatan menurut pasal 2 ayat 2 tidak lain daripada suatu tindakan administrasi Hal tersebut diperkuat pula oleh Abdulrahman yang berpendapat bahwa pencatatan perkawinan bukanlah syarat yang menentukan sahnya perkawinan karena segala perkawinan di Indonesia sudah dianggap sah apabila hukum agama dan kepercayaan sudah menyatakan sah. Meskipun demikian pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan, karena pencatatan merupakan suatu syarat diakui atau tidaknya suatu perkawinan oleh Negara yang membawa konsekvensi bagi yang bersangkutan (Sumiarni, 2004: 9-10). 
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab Suci Manava Dharmasastra maka syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi, sebagai berikut:

a. Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua. Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan darah. Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang berbunyi:

“Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate,
Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya”
“Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan dengan pernyataan persetujuan bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002: 141).

b. Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika belum mencapai umur minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalam Manava Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun seorang gadis telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan dan orang tua harus memilihkan calon suami yang sederajat untuknya. Dari sloka tersebut disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).

c. Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu lebat, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita yang tidak memiliki etika.

d. Selain itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili, surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga dan surat ijin orang tua.
Samskara atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharma sastra II. 26 sebagai berikut:
“Waidikaih karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,
Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca”
“Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia” (Pudja dan Sudharta, 2002:69).

Dalam pelaksanaan upacara perkawinan (samskara) tersebut, agama Hindu tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam agama Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara. Dengan melakukan upacara dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat, maka akan didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita) dan Moksa. Hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharma sastra II. 9 sebagai berikut:
“Sruti smrtyudita dharma manutisthanhi manavah,
iha kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham”
“Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini dan setelah meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai)” (Pudja dan Sudharta, 2002: 63).

Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan syarat-syarat pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:

1) Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.

2) Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa (sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-masing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.

3) Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).

4) Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya. Yajña tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai pajangan biasa.

5) Lascarya artinya suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keiklasan.

6) Sastra artinya suatu yajña harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yajña.

7) Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.

8) Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yajña harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.

9) Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yajña hendaknya ada jamuan makan sekedarnya dan menerima tamu dengan ramah tamah.

10) Nasmita artinya suatu upacara yajña hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.


V. GREHASTA – Hidup berumah tangga.

Perkawinan atau berumah tangga adalah tahapan yang kedua dlam ajaran catur asrama yang diawali oleh kehidupan brahmacari, yaitu jenjang kehidupan dalam kurun waktu menuntut ilmu pengetahuan yang dilandasi dengan dharma sebagai pegangan dalam kehidupannya. Menjaga kode etik yang telah digariskan dalam hukum agama hindu serta memegang teguh sesananing ASEWALA GURU.(masa belajar). Apabila telah selesai menuntut ilmu dan dirasa cukup dalam ngrangsukawruh yg ditandai dengan upacara samawartama (semacam wisuda). Apabila siswa tersebut tidak berumah tangga selamanya, untuk mengabdikan dirinya sebagai pelayan tuhan dan pelayan umat atas panggilan nuraninya tidak kawin maka sisya tersebut melakukan kehidupan sukla barhmacarya.
Namun apabila melaksanakan wiwaha serta berumah tangga hanya sekali dalam hidupnya 

Oleh :  Jeromangku_sudiada@yahoo.com 



/~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~\
Kalau ada yang kurang jelas pada Artikel
» Perkawinan menurut hukum Hindu
diatas atau seandainya ada Link yang rusak bisa disampaikan lewat Komentar
mudah-mudahan saya bisa segera memperbaiki


0 komentar

Posting Komentar


Denkayu Delodan - © Copyright 2012 - All rights reserved
Powered by Blogger