Pengertian Wiwaha :
Dalam masyarakat Hindu ada
empat jenjang/tahapan kehidupan yang disebut Catur Asrama. Tahap pertama, yaitu
tahap belajar/menuntut ilmu yang disebut Brahmacari. Tahap yang kedua adalah
Grhasta, yaitu berumah tangga. Tahap ketiga disebut Wanaprastha, yaitu mulai
melepaskan diri dari ikatan Duniawi dan tahap keempat adalah Bhiksuka/Sanyasin,
yaitu menyebarkan ilmu kerohanian kepada umat, dan dirinya sepenuhnya diabdikan
kepada Tuhan, Wiwaha/Perkawinan dalam masyarakat Hindu memiliki arti dan
kedudukan khusus dan penting sebagai awal dari masa berumah tangga atau
grhastha asrama.
suatu transaksi dianggap sah
bila ada saksi, dalam Upacara Wiwaha (Byakala) tersebut sudah terkandung Tri
Upasaksi (Tiga Saksi), yaitu Dewa Saksi, Manusa Saksi, dan Bhuta Saksi. Dewa saksi
adalah Saksi Dewa (Ida Sang Widhi Wasa) yang di mohon untuk menyaksikan upacara
pawiwahan tersebut, Manusa Saksi adalah Saksi Manusia. Dalam hal ini semua
orang yang hadir pada saat dilaksanakan upacara utamanya, seperti Pemangku dan
Perangkat Desa (Bendesa Adat, Kelian Dinas dan sebagainya). Bhuta Saksi adalah
saksi para Bhuta Kala.
Pada saat dilaksanakan
Upacara Byakala kita membakar tetimpug (beberapa potongan bambu yang kedua
ruasnya masih ada) sehingga timbul suara ledakan. Suara ledakan tersebut merupakan
simbul memanggil Bhuta Kala untuk hadir di areal upacara, kemudian diberikan
suguhan dengan harapan tidak mengganggu jalanya upacara tersebut.
Setelah selesainya Upacara
Wiwaha (Byakala). Maka pasangan pria dan wanita tersebut telah resmi menjadi
suami istri (Dampati) dan berkewajiban melaksanakan tugas-tugas sebagai seorang
Grhastin.
Tujuan Wiwaha
Bagi masyarakat Hindu soal
perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang khusus dalam dunia kehidupan
mereka. Istilah perkawinan sebagaimana terdapat didalam sastra dan kitab hukum
Hindu (Smrti), dikenal dengan nama wiwaha. Peraturan-peraturan yang mengatur
tata laksana perkawinan pembinaan hukum agama Hindu di bidang perkawinan.
Berdasarkan Kitab Manusmrti,
perkawinan bersifat religius dan obligator karena dikaitkan dengan kewajiban
seseorang untuk mempunyai keturunan dan untuk menebus dosa-dosa orang tua
dengan jalan melahirkan seorang "putra". Kata putra berasal dari
bahasa Sanskerta yang artinya "ia yang menyebrangkan/menyelamatkan arwah
orang tuanya dari neraka".
Wiwaha dalam agama Hindu
dipandang sebagai suatu yang amat mulia. Dalam Manawa Dharmasastra dijelaskan
bahwa Wiwaha itu bersifat sakral yang hukumnya bersifat wajib, dalam artian
harus dilakukan oleh seseorang yang dialami normal sebagai suatu kewajiban
dalam hidupnya. Penderitaan yang dialami oleh seseorang demikian pula oleh para
leluhur akan dapat dikurangi bila memiliki keturunan. Penebusan dosa seseorang
akan dapat dilakukan oleh keturunannya seperti dijelaskan dalam
ceritera/Itihasa.
Jadi tujuan utama dari wiwaha adalah untuk memperoleh keturunan/sentana terutama yang Suputra. Yaitu anak hormat kepada orang tua. Cinta kasih terhadap sesama, dan berbakti kepada Tuhan. Suputra sebenarnya berarti anak yang mulia yang mampu menyebrangkan orang tuanya dari neraka ke surga. Seorang suputra dengan sikapnya yang mulia mampu mengangkat derajat dan martabat orang tuanya. Mengenai keutamaan suputra dijelaskan dalam kitab Nitisastra berikut :
Orang yang mampu membuat seratus sumur masih kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang mampu membuat satu waduk, orang yang mampu membuat seratus waduk kalah keutamaanya dibandingkan oleh orang yang mampu membuat satu yadnya secara tulus ikhlas, dan orang yang mampu membuat seratus yadnya masih kalah keutamaanya dibandingkan dengan orang yang mampu melahirkan seorang anak yang saputra. Demikian keutamaan seorang anak yang saputra.
Jadi tujuan utama dari wiwaha adalah untuk memperoleh keturunan/sentana terutama yang Suputra. Yaitu anak hormat kepada orang tua. Cinta kasih terhadap sesama, dan berbakti kepada Tuhan. Suputra sebenarnya berarti anak yang mulia yang mampu menyebrangkan orang tuanya dari neraka ke surga. Seorang suputra dengan sikapnya yang mulia mampu mengangkat derajat dan martabat orang tuanya. Mengenai keutamaan suputra dijelaskan dalam kitab Nitisastra berikut :
Orang yang mampu membuat seratus sumur masih kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang mampu membuat satu waduk, orang yang mampu membuat seratus waduk kalah keutamaanya dibandingkan oleh orang yang mampu membuat satu yadnya secara tulus ikhlas, dan orang yang mampu membuat seratus yadnya masih kalah keutamaanya dibandingkan dengan orang yang mampu melahirkan seorang anak yang saputra. Demikian keutamaan seorang anak yang saputra.
Lebih jauh dijelaskan oleh
Manawa Dharmasastra bahwa wiwaha itu disamakan dengan Samskara yang menempatkan
kedudukan perkawinan sebagai lembaga yang memiliki keterkaitan yang erat dengan
Agama Hindu. Oleh karena itu semua persyaratan yang ditentukan hendaknya
dipatuhi oleh umat Hindu.
Dalam upacara Manusia Yadnya,
wiwaha Samskara (Upacara Perkawinan) dipandang merupakan puncak dari upacara
Manusa Yadnya, yang harus dilakukan oleh seseorang dalam hidupnya. Wiwaha
bertujuan untuk membayar hutang kepada orang tua atau Leluhur, maka itu
disamakan dengan Dharma.
Wiwaha Samskara diabadikan
berdasarkan Weda, karena ia merupakan salah satu sarira samskara atau penyucian
diri melalui perkawinan. Sehubungan dengan itu Manawa Dharmasastra menjelaskan
bahwa untuk menjadikan bapak dan ibu maka diciptakanlah wanita dan pria oleh
Tuhan, dan karena itu Weda akan diabadikan oleh Dharma yang harus dilaksanakan
oleh pria dan wanita sebagai suami istri.
Dalam berumah tangga ada
beberapa kewajiban yang perlu dilaksanakan yaitu :
1.
Melanjutkan keturunan
2. Membina rumah tangga
3. Bermasyarakat
4. Melaksanakan Panca Yadnya
Upacara Wiwaha (Perkawinan)
adalah suatu Samskara dan merupakan lembaga yang tidak terpisah dari hukum
Agama (Dharma).
Menurut ajaran agama Hindu,
sah atau tidaknya suatu perkawinan terkait dengan sesuai atau tidak dengan
persyaratan yang ada dalam agama. Suatu perkawinan dianggap sah menurut Hindu
adalah, sebagai berikut :
1.
Perkawinan dikatakan sah
apabila dilakukan menurut ketentuan Hukum Hindu.
2. Untuk mengesahkan perkawinan
menurut Hukum Hindu harus dilakukan oleh Pendeta / Rohaniawan atau pejabat agama
yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.
3. Suatu perkawinan dikatakan
sah apabila kedua calon mempelai telah menganut Agama Hindu.
4.
Berdasarkan tradisi yang
berlaku di Bali, perkawinan dikatakan sah
setelah melaksanakan upacara Byakala/Biakaonan sebagai rangkaian Upcara Wiwaha.
5.
Calon mempelai tidak terikat
oleh suatu ikatan perkawinan.
6.
Tidak ada kelainan seperti
banci, kuming (tidak pernah haid), tidak sakit jiwa atau sehat jasmani dan
rohani.
7.
Calon mempelai cukup umur,
pria berumur 21 tahun dan wanita minimal 18 tahun.
8. Calon mempelai tidak mempunyai darah dekat atau sepinda.
Refrensi :
Posted by : I Ketut Wasista
http://suryadistira.blogspot.com/2010/02/wiwaha.html
0 komentar
Posting Komentar