Kata “Galungan”
berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang. Galungan juga sama
artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena
itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan.
Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian
pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali
disebut Umanis, yang artinya sama, yakni manis.
Pelaksanaan Perayaan Galungan sendiri di Indonesia
lebih di dasarkan pada kisah ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan
dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun.
Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar
tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan
pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui
penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa.
Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih.
Karena kesungguhannya melakukan
tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius”
dari Dewi Durgha,
sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu
Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek
karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada
Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon
Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan
pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan
(sehari sebelum Galungan).
Disebutkan pula, inti pokok
perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakanbyakala yaitu upacara yang bertujuan untuk
melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya.
Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan
dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
Secara filosofis makna Galungan
adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu
membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia. Selain
itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan
kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa
hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan
untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
Galungan
dan Kuningan hendaknyalah dilaksanakan dengan hati dan perasaan yang damai dan
tentram. Kemenangan Dharma atas Adharma bermakna dalam konteks, kita hendaknya
mampu instrospeksi diri siapa sesungguhnya jati diri kita, siapa kita dan untuk
apa kita dilahirkan, bagaimana kita berperan dalam masyarakat untuk menciptakan
kedamaian dan kesejahteraan serta berperan aktif dalam dinamika sosial di
tengah-tengah masyarakat dan lingkungan kita.
Hal ini hendaknya melalui proses
pendakian spiritual menuju kesadaran diri yang sejati, seperti halnya hari Raya
Galungan dan Kuningan, manusia bertahan dan tetap teguh dengan kesucian hati
walau digoda oleh Sang Kala Tiga Wisesa, musuh
dalam dirinya, di dalam upaya menegakkan dharma di dalam dirinya maupun di luar
dirinya. Sifat-sifat adharma (bhuta) di dalam
dirinya dan di luar dirinya disomya agar menjadi dharma (Dewa), sehingga
dunia ini menjadi seimbang (jagadhita).
Dharma dan adharma, itu dua
kenyataan yang berbeda (rwa bhineda) yang selalu ada di
dunia, ada dalam diri kita umat manusia, tapi hendaknyalah itu diseimbangkan
sehingga evolusi di dunia bisa berjalan. Kemenangan dharma atas adharma yang
telah dirayakan setiap Galungan dan Kuningan hendaknyalah diserap dan
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dharma tidaklah hanya diwacanakan
tapi dilaksanakan.
Dalam
kitab Sarasamuccaya (Sloka 43) disebutkan keutamaan dharma bagi orang yang
melaksanakannya yaitu :
“Kuneng sang hyang dharma,
mahas midering sahana, ndatan umaku sira, tan hanenakunira, tan sapa juga si lawanikang
naha-nahan, tatan pahi lawan anak ning stri lanji, ikang tankinawruhan bapanya,
rupaning tan hana umaku yanak, tan hana inakunya bapa, ri wetnyan durlaba ikang
wenang mulahakena dharma kalinganika”.
Artinya:
Adapun dharma itu, menyelusup
dan mengelilingi seluruh yang ada, tidak ada yang mengakui, pun tidak ada yang
diakuinya, serta tidak ada yang menegur atau terikat dengan sesuatu apapun,
tidak ada bedanya dengan anak seorang perempuan tuna susila, yang tidak dikenal
siapa bapaknya, rupa-rupanya tidak ada yang mengakui anak akan dia, pun tidak
ada yang diakui bapa olehnya, perumpamaan ini diambil sebab sesungguhnya sangat
sukar untuk dapat mengetahui dan melaksanakan dharma itu.
Demikian
tulisan tentang Galungan dan Kuningan ini, semoga dapat bermanfaat bagi kita
semua. Akhir kata saya mengucapkan :
Sumber
Penulis : I Wayan Adi Sudiatmika
Pada : panbelog.wordpress.com
0 komentar
Posting Komentar