Manusa Yadnya : aweh amangan anginum ring karaman, angaci-aci
ring raga sarira, saking patemwaning pawarangan. Maka sering
disebut dengan Sarira Samskara.
Dalam agama Hindu di Bali, yang merupakan perpaduan budaya ‘wit‘ dengan budaya Hindu, ada
11 tingkatan upacara Manusa Yadnya, yaitu:
- Pawarangan/Pawiwahan,
- Garbhadana/Magedong-gedongan,
- Jatakarma/Bayi lahir,
- Kepus Udel,
- Namakarana Samskara/Tutug Kambuhan,
- Niskramana/Nyambutin,
- Paweton,
- Ngempugin/Tumbuh gigi,
- Makupak/Tanggal gigi,
- Angrajasawala/Angrajasingha,
- Pawintenan/Diksa.
Oleh karena tingkatan upacara Manusa Yajna jumlahnya sebelas,
disebutlah : Ekadasa Diksitaning Manusa.
Pada tulisan kali ini, akan dipaparkan beberapa hal yang
berkaitan dengan Pawiwahan menurut Agama Hindu.
Pawiwahan, adalah pertemuan dua unsur, yakni Sukla/sperma dengan Swanita/ovare, yang
menjadi sad kosa (hasti, odwad, sumsum, carma, rudhira, mamsa)
yang nantinya membungkus atma, yang nantinya lahir menjadi putra yang suputra.
Sedangkan dalam UU No. 1/ Tahun 1974, disebutkan : Perkawinan
itu adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita, sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal,
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Jika ditinjau dari ajaran agama Hindu, perkawinan itu dapat
dipandang sah, apabila :
- Dipimpin oleh Rohaniwan, Pamangku, Balian Sonteng, Pendeta/Sulinggih.
- Kedua calon mempelai telah menganut agama Hindu.
- Adanya upacara biakala/biakaon.
- Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan perkawinan.
- Tidak ada kelainan, banci, kuming, tidak sakit jiwa, pendeknya sehat jasmani rohani.
- Cukup umur, yang laki minimal 21 tahun, yang perempuan minimal 18 tahun.
- Calon mempelai tidak mempunyai hubungan darah dekat/sapinda.
- Khusus di Bali, upacara perkawinan dilakukan di rumah pihak yang berkedudukan sebagai Purusa.
Sedangkan menurut UU No. 1/1974,
secara prinsip :
- Tujuan perkawinan itu adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
- Perkawinan dianggap sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- UU Perkawinan menganut azas Monogami.
- Calon mempelai sehat jasmani dan rohani.
- Tidak menghendaki adanya perceraian.
Walaupun
perkawinan itu adalah urusan kedua mempelai, namun dalam tradisi di Bali, peranan orang tua masih sangat dibutuhkan dan orang
tua berkesempatan untuk membayar hutang/rnam. Setidak-tidaknya sang anak
sebelum melangsungkan perkawinan, mohon ijin kepada orang tua, sehingga
nantinya proses perkawinan itu dapat berjalan lancar.
Kutipan :
Kanya warayate rupam, Matta
wittam pita srutam, Bandhawah kulam icchanti, Mistam namitare janah.
(Jika ia sendiri memilih gadis
dipilih yang cantik rupanya, jika ibu memilih yang kaya dan jika bapak memilih
yang pandai, jika anggota keluarga memilih yang bangsawan, tetapi orang-orang
yang penting manis luar dalam).
Jika perkawinan telah berlangsung dengan ucapan doa dengan
harapan semoga hidup sejahtra dan bahagia.
Kutipan :
Iha iva stam ma vi yustham,
Visvam ayur vyasnustham, Kridantau putrair naptrebhih, Modamanam swegrehe (Reg
Veda X.85.42)
(Oh Hyang Widhi, anugrahkanlah
pasangan ini senantiasa bahagia, keduanya tak terpisahkan, panjang umur dan
semoga dianugrahkan putra dan cucu yang memberikan penghibur, tinggal di rumah
yang penuh bahagia).
Dan jika sang istri sedang hamil, maka sang suami hendaknya
melakukan brata dan selalu berdoa.
Kutipan :
Yatheyam prethivi mahi bhutanam
garbhamadadhe, eva te dhriyatham garbho anusuthum savitave (Atharwa Veda VI.17.1).
(Seperti halnya bumi yang luas
ini mengandung semua makhluk, demikian juga oh istriku, engkau menjadi hamil
dan dari kehamilan tersebut dapat melahirkan seorang anak seperti Sang Surya,
penuh dengan cahaya dan sinar, yang dapat menerangi kehidupan insani serta
sanak keluarga).
Suami hendaknya berdoa dengan ucapan :
OM Surya no divaspatu vato antariksat agnirnah parthivebhyah (Reg
Weda X.158.1)
(Ya Tuhan dalam wujud-Mu
sebagai Surya, anugrahilah dari sorgaloka dan lindungilah jabang bayi ini yang
masih dalam kandungan, demikian juga semaoga Hyang Bayu, memberikan anugrah
dari antariksa dan dari bumi dan dewa Agni melindunginya.
Aji Eta Etu:
Nihan dharmaning sang
Panganten, yan huwus atemu smara, haywa ipal-ipal, sari-sarya nangken ratrya,
ring jroning paturwan, abrata silih asih, kang putra lawan putrika, yan durung
subha dewasa, bwat agawe hila-hila dahat, kramaning sang kakung apangantyan,
haywa sira pasha lawan istrinta, haywa sira akrida lawan stri len, hila-hila
dahat, bwat cantula. Pira kuneng lawasira abrata silih asih petang puluh rong
ratrya, lawasnira angambel Sanghyang Brata Pradyumna, genep tang ratryanira ,
ri huwus samangkna wenang sakama-kama.
Inilah suatu kewajiban bagi
yang melaksanakan pawiwahan, jika telah melakukan hubungan, janganlah berpikir
yang kurang baik, setiap hari, setiap malam, di tempat tidur, hendaknya
bercumbu rayu, laki dan perempuan, jika belum waktunya jangan bersanggama, amat
berbahaya itu, demikianlah harus dipegang teguh oleh yang laki, jangan memaksa
pasangan, janganlah bermain dan memikirkan perempuan lain, itulah penyebab
durhaka. Hendaknya melakukan tapa silih asih, selama 42 hari, tidak ada
putus-putusnya, tetapi setelah itu barulah mengatur waktu.
Mwah yan sira amangan anginum,
makadi pana, matsya, sereh mwang we, sowang-sowang wenang telasakena.
Brata yang lain, adalah jika
engkau minum, seperti beberapa jenis minuman, makan ikan, daging, sirih ataupun
minum air, hendaknya dihabiskan.
Yan sira anrempini, abrata pwa
sira, anggita, angidung, angkatha, sakama-kamanya uluri, apan Sanghyang Smara
lan Ratih, wenang caronin. Haywa sira krodha, angapak-apak, haywa sira angamet
tan pasamaya, haywa amati-mati, dharma ulahakna; yan garbhini haywa magotra.
Jika telah ngidam, laksanakan
seperti : bernyani, makidung, berceritra, apa yang menjadi keinginannya
hendaknya diberi, karena Sanghyang Smara dan Sanghyang Ratih, memerlukan
hidangan. Janganlah marah, berkata-kata kasar, jangan mencuri, jangan
membunuh-bunuh, selalu berbuat baik berdasarkan dharma, kalau istri hamil
jangan cukur rambut dan matatah.
Sumber
Penulis : I Wayan Adi Sudiatmika
Pada : panbelog.wordpress.com
0 komentar
Posting Komentar