Pada
saat Hari Raya Pagerwesi semua intansi selalu meliburkan diri.
Baik pemerintahan maupun sekolah-sekolah.
Bahkan tidak sedikit umat Hindu,
yang tidak mengetahui alasannya.
Bahkan saat ditanya pun, jawabannya
cenderung tidak nyambung.
Seperti, ‘nak mule keto’ dan ada pula yang
menjawab karena saat hari Pagerwesi dilarang untuk menduduki bangku yang
terbuat dari besi dan kayu.
Karena itu instansi diliburkan.
Namun sesungguhnya, ada makna dan tujuan
yang amat dalam pada saat hari Pagerwesi ini.
Mulai dari jatuhnya hari, di mana
Pagerwesi ini selalu jatuh setelah Hari Raya Saraswati dan Banyu Pinaruh.
Hari Raya Saraswati merupakan hari saat
ilmu pengetahuan tersebut diciptakan dan Banyu Pinaruh merupakan hari adalah
saat pengetahuan tersebut diterima oleh manusia.
Sementara, Pagerwesi merupakan hari ketika
Ida Sang Hyang Widhi bermanifestasi menjadi guru.
Karena itu, di dalam teks Sunarigama, Hari
Raya Pagerwesi disebut dengan Prayoga Ida Bhatara Pramesti Guru atau dapat juga
dikatakan sebagai Hari Guru atau di India disebut Guru Purnima atau pemujaan
terhadap guru.
Guru dalam hal bukan hanya guru yang
mengajar di sekolah (guru pengajian), tetapi juga melingkupi guru rupaka
(orangtua), guru wisesa (pemerintah) dan guru swadyaya (Tuhan).
Karena itu, mengapa saat Hari Pagerwesi
setiap instansi di Balimeliburkan diri?
Itu karena gubernur dan DPRD kita pada
zaman dulu memahami betul makna ini.
Yakni saat Pagerwesi, guru-guru tersebut
diberikan kesempatan untuk melakukan ritual untuk menyucikan pengetahuan yang
dimiliki, untuk diberikan keesokan harinya pada murid-muridnya.
Pengertian murid di sini bukan hanya murid
di sekolah, tetapi juga masyarakat umum.
Kita harus selalu menghormati guru. Sebab
guru memiliki peran penting dalam menyelamatkan umat manusia dari jurang
kenistaan.
Karena itu, di dalam ajaran Hindu,
hari pemujaan terhadap guru diberikan secara khusus, yakni pada saat Pagerwesi.
Jadi kalau ada yang bilang Pagerwesi itu
diliburkan karena tidak boleh menduduki bangku yang terbuat dari kayu dan besi,
itu namanya tradisi emik atau tidak ada sumbersastranya.
Itu hanya pendapat masyarakat yang
disepakati bersama. Kalau kita telusuri, Pagerwesi ini tidak berdiri sendiri.
Dia merupakan rangkaian dari Watu Gunung
Runtuh sampai Paid-paidan, Candung Watang, Bhuda Urip, Urip Kelantas,
Panetegan, Saraswati, Banyu Pinaruh, Soma Ribek, Sabuh Emas, dan Sinta. (*)
0 komentar
Posting Komentar