Setiap orang yang
normal, mempunyai tujuan hidup. Bagi yang memeluk agama Hindu, ada empat tujuan
hidup manusia, yang disebut dengan Catur Purusa Artha. Yang
tergolong Catur Purusa Artha adalah : Dharma, Artha, Kama dan Moksa.
Dharma adalah tingkah laku
yang mulia dan budi luhur, suci, senantiasa berpegang teguh pada ajaran-ajaran
agama (Hindu), sebagai landasan yang utama, untuk mencapai kesejahteraan serta
kebahagiaan lahir bathin. Di dalam pustaka Wrehaspati Tattwa, didapatkan
sloka, sebagai berikut :
Silam yajnas tapas, danam prawrajya bhiksu ewa ca, yogas ca’pi
samasena, dharmasya eko winirnayah.
Sloka
tersebut dapat diartikan sebagai berikut :
·
Sila
ngarannya mangraksa solah rahayu
ngarannya mangraksa solah rahayu
(Sila artinya berpegang teguh pada tingkah
laku yang baik).
·
Yajna
ngarannya manghanaken homa
ngarannya manghanaken homa
(Yadnya artinya melakukan korban suci).
·
Tapa
ngarannya umatindriyanya tan wineh ring wisayanya
ngarannya umatindriyanya tan wineh ring wisayanya
(Tapa artinya mampu mengendalikan indrianya,
tidak mengumbar hawa nafsu pada objeknya).
·
Dana
ngarannya weweh
ngarannya weweh
(Dana artinya dapat bersedekah dengan tulus
ikhlas).
·
Prawrajya
ngarannya wiku anasaka
ngarannya wiku anasaka
(Prawrajya artinya menjadi orang suci yang telah
matang).
·
Bhiksu
ngarannya diksita
ngarannya diksita
(Bhiksu artinya hidup suci).
·
Yoga
ngarannya manghanaken samadhi
ngarannya manghanaken samadhi
(Yoga
artinya mampu melaksanakan samadhi/memusatkan pikiran).
·
Samasena
dharmasya eko winirnayah
dharmasya eko winirnayah
(Semuanya itu adalah satu aturan dari dharma).
Maka itu
hidup yang berpegang pada Dharma, merupakan suatu
landasan pokok dalam tata kehidupan “Dharmo raksatah raksitah“;
siapa yang membela/melindungi Dharma, ia akan dibela dan dilindungi oleh
Dharma.
Ikang dharma ngaran ika
hetuning mara ring swarga ika, kadi gatining perahu an hetuning banyaga
entasing tasik (Sarasamuscaya).
Adapun dharma itu adalah suatu
jalan untuk menuju sorga (mencapai kesempurnaan hidup), bagaikan perahu yang
menjadi alat bagi pedagang menyebrangi lautan.
Artha, ialah harta benda untuk memenuhi keperluan hidup. Yang
termasuk artha ada 3 bagian, yaitu :
·
Bhoga, segala keperluan
akan pangan/minum tiap-tiap hari yang cukup.
·
Upabhoga, mencukupi
keperluan tentang sandang/pakaian dan perhiasan.
·
Paribhoga, terpenuhinya
perumahan, pendidikan dan hiburan.
Unsur-unsur
artha yang tersebut di atas, dapatlah diperinci, sebagai berikut :
·
Wareg, perut kenyang,
cukup makan/minum yang berguna bagi tubuh.
·
Wastra, terpenuhinya
pakaian/perhiasan.
·
Wisma, terpenuhinya rumah
yang sehat (asta kosala).
·
Waras, terpenuhinya
pendidikan, sehingga menjadi pandai, terampil dan bijaksana.
·
Waskita, cukup hiburan dan
pikiran yang tenang.
-
Kama, ialah dorongan untuk memenuhi hidup. Dorongan itu pada umumnya
ada 2 bagian, yaitu :
1.
Dorongan mempertahankan hidup.
2.
Dorongan untuk melanjutkan
keturunan.
Dorongan untuk mempertahankan hidup, adanya suatu keinginan
adanya rasa bebas dari rasa lapar, haus, panas, dingin, sakit dan sebagainya.
Sedangkan dorongan untuk melanjutkan keturunan, adalah dengan memenuhi nafsu
untuk kawin, agar terpenuhinya keturunan.
Dalam Sarasamuscaya, disebutkan :
Ikang artha kama lamakana
Dharma juga ulahakena rumuhun, haywa palangpang lawan Dharma
Artinya :
Jika untuk memdapatkan artha dan kama,
hendaknyalah didapat dengan menjalankan Dharma dan jangan melanggar Dharma.
-
“Yan artha kama sadhyan, Dharma juga lekasana rumuhun, niyata
katemwang artha kama mene, Yan paramartha si ketemwaning artha kama, dening
anasar sakeng Dharma”
Artinya :
Jika menginginkan
artha dan kama, maka Dharma hendaknya dilaksanakan terlebih dahulu, niscaya
seketika akan mendapatkan artha kama. Bila
tidak berdasarkan Dharma, jelas tidak mendapatkan artha dan kama,
oleh karena menyalahi Dharma.
-
Moksa, adalah kebahagian
yang kekal dan abadi, yang mana Atma telah bersatu dengan Paramatma. Itulah
yang menjadi tujuan hidup sebagai umat Hindu, yang umum disebutkan dengan “Moksartham Jagathitaya ca iti Dharmah“,
artinya tujuan hidup Agama (Hindu) adalah untuk mencapai Jagathita
(kesejahtraan di dunia) dan bersatunya Atma dengan Paramatma.
Dharma Artha Kama
dan Moksa, tidak dapat dipisah-pisahkan antara yang satu dengan yang lainnya,
maka sering Catur Purusa Artha itu disebut dengan Catur Warga.
Di dalam ajaran
agama Hindu, kita diwajibkan untuk beryadnya, yang sering disebut dengan ”
Cakra Yajna”. Cakra Yajna inilah yang mengajarkan manusia untuk memutar Cakra
Yadnya itu. Barang siapa yang tidak memutar ajaran Cakra Yajna, sesungguhnya
orang tersebut disebut dengan orang jahat. Maksud dari ajaran inilah Tuhan
dengan yadnya adanya manusia, maka manusia wajib bhakti beryadnya kepada Tuhan;
manusia hidup dengan yadnyanya alam, maka manusia juga harus beryadnya pada
alam; manusia hidupnya baru berarti jika ada orang lain. Maka landasan dasar
dari ajaran ini disebut dengan ‘Rta’ dan ‘Dharma’. Rta adalah hukum alam, yang
menata keteraturan dinamika alam, sedangkan Dharma adalah hukum kebersamaan,
yang menuntun kehidupan manusia untuk mencapai tertib individu dan tertib hidup
bersama.
Maka dengan ajaran
Cakra Yajna itu manusia akan sadar, disamping dirinya ada manusia lainnya,
demikian juga ada alam lingkungan dan yang paling utama dan Maha Kuasa serta
Maha Esa adalah Tuhan. Dengan adanya suatu kesadaran adanya Tuhan, adanya
sesama manusia dan adanya lingkungan alam, akan membangun pula suatu kesadaran,
mutlak adanya hubungan yang harmonis dengan ke tiga unsur itu untuk mencapai
kebahagiaan hidup di dunia ini.
Mencapai kehidupan
yang berbahagia dengan melakukan hubungan yang harmonis dengan Tuhan, dengan
sesama dan dengan alam lingkungan, inilah yang disebut “Tri Hita Karana“.
-
Tri Hita Karana
Agama Hindu yang
ajarannya bersumber pada kitab suci Sruti maupun Smreti, banyak mengajarkan
jalan untuk mencapai keharmonisan, baik kepada yang lebih tinggi “Catur Guru”
terhadap sesama dan terhadap alam lingkungan. Ada dengan disebut Catur Marga, Astanggayoga,
Panca Yadnya dan lain sebagainya.
Sedangkan istilah
Tri Hita Karana, belum pernah kita jumpai dalam pustaka-pustaka suci, Weda
Sruti, Smreti dan kitab sastra-sastra lainnya. Namun banyak orang sudah
menyampaikan dengan gencar-gencarnya tentang Tri Hita Karana. Walaupun dapat
dimengerti bahwa istilah Tri Hita Karana itu berasal dari bahasa Sansekerta,
yakni Tri = tiga (3); Hita = bahagia, sejahtra; Karana = penyebab. Tri Hita
karena sebagai istilah berarti tiga penyebab kebahagiaan. Ajaran Tri Hita
Karana inilah yang mengajarkan untuk mengadakan hubungan yang harmonis dengan
pencipta Tuhan Yang Maha Esa, hubungan harmonis manusia dengan sesama ciptaan
Nya dan hubungan yang harmonis dengan alam lingkungan sekitar. Konsep ajaran
ini telah tertuang dalam kitab “Pancamo Weda” Bhagawadgita III.10,
ke tiga unsur itu disebut dengan Prajapati (Tuhan), Praja dan Kamadhuk.
Jadi istilah Tri
Hita Karana adalah sebutan baru, tetapi bukan ajaran yang baru dalam agama
Hindu.
Untuk itu marilah
merunut ke masa lalu, yaitu dengan mulainya umat Hindu mempunyai suatu lembaga,
pada tahun 1958/1959, dengan nama Parisada Dharma Hindu Bali. Dalam perkembangan
selanjutnya pada tahun 1963/1964, muncullah lembaga baru dikalangan umat Hindu,
Lembaga tersebut bernama ” Badan Perjuangan Umat Hindu Bali” yang disingkat
menjadi BPUHB, yang mendapingi Parisada Dharma Hindu Bali, pada Mahasabha
selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma dan sekarang menjadi Parisada Hindu
Dharma Indonesia.
Dalam
pertemuan-pertemuan selanjutnya ada seorang tokoh umat Hindu, dari kalangan TNI
AD, Bapak Drs. I Wayan Merta Sutedja, BA., beliau banyak sekali membantu
Parisada dalam memberikan ceramah-ceramah di Bali maupun di luar Bali, sering
menyebut Tri Hita Karana. Pada saat itu beliau menyebutkan Tri Hita Karana,
dengan Urip, Bhuwana, Manusa. Selanjutnya berubah menjadi Widhi, Bhuwana dan
Manusia, tetapi beliau tetap menyebut sumber ajaran itu adalah Bhagawadgita III.10,
yakni Prajapati (pencipta alam semesta beserta isinya), Praja unsur manusianya
dan Kamadhuk adalah simbul alam semesta, yang disimbulkan dengan sapi betina,
yang menghasilkan susu tidak habis-habisnya.
Saha yajnah prajah srestwa, purowaca prajapatih, anena
prasawisya dhwam, esa wostwista kamadhuk.
Pada tahun 1969 di
Universitas Udayana tepatnya di Aula Fakultas Sastra, diadakan seminar tentang
Tri Hita Karana. Pembawa makalah pada saat itu Bapak Gusti Ktut Kaler (almarhum),
yang merumuskan Tri Hita Karana, adalah Parhyangan, Pawongan dan Palemahan.
Pada tahun 1986
Parisada Hindu Dharma Indonesia, menugaskan Institut Hindu Dharma Denpasar
(UNHI sekarang), mengadakan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama
Hindu, dananya dibantu oleh Pemda Bali. Ketika itu yang membawakan makalah
Bapak Nengah Sudharma, BA, yang tetap menyitir Bhagawadgita III. 10, namun
untuk memudahkan mengingat dan bersifat populer dengan Parhyangan, Pawongan dan
Palemahan, walaupun jiwanya adalah Prajapati, Praja dan Kamadhuk.
Pada hakekatnya Tri
Hita Karana itu hendaknya sebagai landasan filosofi hidup, dalam mewujudkan
sikap hidup berbakti kepada Tuhan, harmonis dengan sesama dan harmonis pula
dengan lingkungan.
-
Desa Adat dan Tri Hita Karana
Sejak jaman Bali
Kuno (abad 9), masyarakat Bali telah mengenal
masyarakat desa yang disebut “karaman”. Tempat atau wilayah di mana kraman
berada disebut “desa” atau “pakraman”. Desa Pakraman itu pada awalnya adalah
suatu kelompok cikal bakal atau keturunan pendiri pemukiman yang sejak awal
telah mendiami daerah tertentu, dalam perkembangannya Desa Pakraman disebut
juga dengan Desa Adat. Kata “adat” bukanlah kata yang berasal dari Indonesia atau bahasa daerah yang ada di Indonesia,
melainkan berasal dari bahasa Arab, yang berarti kebiasaan. Di Bali kata adat
rupa-rupanya mulai dikenal sejak jaman Belanda, sekitar permulaan abad ke-20,
yang diartikan sebagai suatu kebiasaan yang telah melembaga di masyarakat yang
berlangsung turun-temurun.. Demikian pula masalah Desa Adat dipopulerkan sejak
jaman pemerintahan Belanda di Bali dan untuk
membedakannya dengan Desa Dinas yang dibentuk oleh Belanda.
Sementara itu
masyarakat pada umumnya merasakan adat sebagai salah satu bentuk hukum, seperti
halnya hukum tertulis yang berlaku, tetapi merupakan pelaksanaan dari ajaran
agama Hindu yang dianutnya, bahkan lebih dari pada itu sebagai penerapan ajaran
agama Hindu itu sendiri yang harus mereka penuhi.
Dengan adanya
pengertian yang berbeda itu tidaklah menguntungkan bagi usaha-usaha pembinaan
adat yang akan dilakukan. Dualisme pengertian adat, akan dapat menimbulkan
masalah-masalah baru yang muncul kepermukaan dalam bentuk sengketa-sengketa
adat.
Akhirnya
kekhawatiran itu dijernihkan oleh Parisada Hindu Dharma yang merupakan Majelis
Agama Hindu yang tertinggi, bahwasanya adat Bali itu adalah adat yang bersumber
kepada ajaran agama Hindu.
Lebih-lebih dewasa
ini telah banyak dilakukan pembinaan oleh Majelis Desa Pakraman, Parisada Hindu
Dharma, Kantor Kementerian Departemen Agama, hasil yang dicapai sudah semakin
tampak.
Oleh karena adat
adalah merupakan ajaran Agama Hindu, maka konsepsi Tri Hita Karana, sangat erat
kaitannya dengan Desa Adat, sesuatu Desa dapat disebut dengan Desa Adat, jika
unsur-unsur Tri Hita Karana terpenuhi. Oleh karena itu setiap yang disebut
dengan Desa Adat, pasti adanya : Unsur Parhyangan (Kahyangan Tiga); Unsur
Pawongan (krama desa) dan Unsur Palemahan (wilayah Desa).
-
Tri Hita Karana Mensukseskan Tujuan Hidup
Tri Hita Karana
sebagai upaya untuk menciptakan tiga wujud hubungan hidup sebagai suatu
kesatuan, yang dapat membentuk iklim hidup yang disebut Catur Purusa Artha.
Tiga wujud hubungan yang membangun iklim hidup itu tercipta oleh sikap hidup
yang seimbang, antara berbakti kepada Tuhan, mengabdi kepada sesama manusia dan
memelihara kesejahtraan lingkungan alam. Dengan adanya suatu keharmonisan hidup
itu jelaslah tujuan hidup tercapai.
Untuk mencapai hal
itu sebaiknya jangan menunda lagi melaksanakan keseimbangan hidup ini semasih
jiwa ada dalam badan. Dalam kitab Brahma Purana, ada disebutkan, sebagai
berikut :
Dharma Artha Kama Moksanam sarira sadhanam.
(Badan adalah alat untuk mencapai Dharma, Artha, Kama
dan Moksa).
Oleh karena itu
kesempatan yang amat baik dalam hidup ini untuk melakukan perbuatan yang baik,
dengan hormat dan bhakti kepada Tuhan, hubungan harmonis dengan sesama dan
harmonis dengan lingkungan.
Hubungan yang
harmonis dengan Tuhan, ada sembilan cara, yaitu :
Srawanam Kirtanam Wisnoh Smaranam Padasewanam
Arcanam Wandhanam Dasyanam Sakhyanam Atmaniwedanam.
1.
Srawanam, dengan jalan
mendengarkan ajaran kesucian.
2.
Kirtanam, dengan jalan
menyanyikan kidung suci keagamaan.
3.
Smaranam, dengan selalu mengingat
Tuhan.
4.
Padasewanam, dengan jalan
mendekatkan diri kepada Tuhan.
5.
Arcanam, dengan memuja Tuhan
melalui media arca dan pratima.
6.
Wandhanam, dengan jalan membaca
sloka/mantra , sastra agama.
7.
Dasyanam, dengan jalan mengabdi
atau melayani kepada Tuhan.
8.
Sakhyanam, dengan selalu
berhubungan dekat dengan Tuhan.
9.
Atmaniwedanam, dengan jalan
penyerahan diri kepada Tuhan.
Demikianlah
yang dapat disampaikan saat ini semoga di lain waktu dapat kita sempurnakan.
Sumber
Penulis : I Wayan Adi
Sudiatmika
0 komentar
Posting Komentar