Barhiṣadaḥ pitara śti
arvāg, imā va havyā cakṛmā juṣadhvam, ta ā
gata avasā śaṁtamena, atha naḥ śaṁyor arapo
dadhāta - Para leluhur kami yang kami sucikan, yang duduk bertebaran (di
angkasa), hadirlah kemari, ke tempat upacāra yang kami persembahkan ini,
semogalah anda berbahagia, anugrahkanlah pertolongan, kesehatan dan rahmat, dan
bebaskan kami dari keperihan hidup). Ṛgveda X.15.4.
A. PENDAHULUAN
Upacāra agama merupakan ekspresi dan perwujudan dari pengamalan
ajaran agama Hindu. Sejak wahyu suci Veda diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Esa,
upacāra-upacāra agama senantiasa dilaksanakan oleh umat. Berbagai bentuk
upacāra itu sesungguhnya merupakan pengamalan dari ajaran Yajña. Kata Yajña
mengandung pengertian yang jauh lebih luas dan merupakan landasan filosofis
dari pelaksanaan upacāra agama. Secara garis besar Yajña dikelompokkan ke dalam
5 jenis yang dikenal dengan sebutan Pañca Yajña atau Pañca Maha Yajña.
Salah satu bentuk dari Pañca Yajña tersebut adalah Piṭṛa Yajña yang merupakan pengorbanan suci kepada para leluhur, di
antaranya berupa upacāra Mamukur, yang merupakan upacāra kelanjutan dari
upacāra Ngaben yang di India disebut Antyesti atau Mṛtyu Saṁskara. Biasanya bila seseorang atau
sebuah keluarga besar melaksanakan upacāra Mamukur, maka diiringi pula oleh
upacāra lainnya seperti upacāra Mapandes, Otonan dan kadang-kadang pula upacāra
Pawintenan. Ketiga upacāra terakhir ini sering disebut upacāra Manusa Yajña,
yang merurut sumber-sumber kepustakaan yang lebih tua seperti kitab-kitab Gṛhyasutra, Manavadharmaśāstra dan di Indonesia dijumpai pula
dalam kitab Agastyaparva, merupakan upacāra Śarīra Saṁskara, Vidhi-vidhana atau upacāra penyucian diri pribadi.
Upacāra Manusa Yajña dalam bentuknya yang sederhana adalah dengan memberikan
pertolongan kepada sesama umat manusia, yakni mereka yang miskin dan memerlukan
pertolongan.
Di India, seperti telah disebutkan di atas, upacāra Ngaben
disebut Antyesti, Nyekah, disebut Sapindikaraṇa atau Piṭṛapinda dan terakhir, mensthanakan roh suci disebut Śrāddha.
Upacāra ini secara besar-besaran pernah dilakukan oleh raja Hayam Wuruk, pada
masa kejayaan Majapahit, untuk mensthanakan leluhur di Hyang I Palah, yakni di
Candi Penataran, dekat Blitar, jawa Timur.
Tulisan ringkas ini menguraikan makna upacāra Mamukur dan
Mapandes, diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelaksanaan upacāra Yajña tersebut,
terutama bagi sang Yajamana, yang melaksanakan upacāra, masyarakat di
sekitarnya serta para Athiti, undangan yang berkenan hadir untuk turut serta
mendoakan suksesnya pelaksanaan upacāra dimaksud.
B. PENGERTIAN UPACĀRA MAMUKUR
Guna memantapkan pengertian kita terhadap upacāra Mamukur,
kiranya terlebih dahulu kami sampaikan tentang struktur pribadi kita, yakni
sebagai umat manusia yang hidup dan mampu melaksanakan aktivitas karena
dihidupi atau dihidupkan oleh Ātma yang di dalam tubuh mahluk sering disebut
Jivàtmà. Ātma individual ini dibelenggu oleh 5 selaput yang disebut Pañca Koṣa, yang terdiri dari:
1. Annamayakoṣa, selubung yang paling luar berupa badan wadag yang terdiri
dari berbagai unsur makanan, yang tersusun dari unsur-unsur Pañca Tan Matra dan
Pañca Māha Bhūta.
2. Prāṇamayakoṣa, selubung
yang lebih di dalam dari selaput yang paling luar (Annamayakoṣa) yang dalam bentuknya yang paling sederhana adalah berupa
tenaga vital (energi) dalam tubuh setiap mahluk.
3. Manomayakoṣa, selubung yang ketiga dari luar,
merupakan badan pikiran.
4. Vijñānamayakoṣa, selubung keempat dari luar,
berbentuk kecerdasan budi (intelektualitas).
5. Anandamayakoṣa, selubung yang paling tengah, tidak
lain adalah Ātma, sumber hidup setiap mahluk.
Kelima pembungkus tersebut, dapat disederhanakan menjadi tiga
badan atau Tri Śarīra, yakni Sthula Śarīra (badan wadag, terdiri dari
Annamayakoṣa dan Prāṇamayakoṣa), Suksma
Śarīra (badan halus, terdiri dari Manomayakoṣa dan
Vijñànamayakoṣa), serta Antahkaraóa Śarira, yakni Anandamayakoṣa, Ātma atau Sang Diri.
Bila seseorang meninggal dunia, maka badan wadag (Sthula Śarīra,
atau Annamayakoṣa dan Prāṇamayakoṣa) akan hancur, sedang badan lainnya
masih tetap utuh. Upacāra Ngaben atau Antyesti itu bertujuan untuk membebaskan
Ātma yang masih terbungkus oleh badan halus atau Suksma Śarīra (Manomayakoṣa dan Vijñànamayakoṣa) dari
ikatan badan wadag (Sthula Śarīra) tersebut. Bila dalam kurun waktu tertentu
(12 hari), badan wadag tidak diupacārakan (dikremasi), maka Ātma yang masih
terbungkus oleh badan halus (Suksma Śarīra) itu akan tetap berstatus sebagai
Preta. Untuk membebaskan Preta menjadi Piṭṛa inilah,
upacāra Antyesti atau Ativahika mesti dilaksanakan. Upacāra Ativahika ini di
Kalimantan dikenal dengan istilah Tiwah, di Jawa dan Bali
disebut Atiwa-tiwa atau Atatiwa dan kini umum disebut Ngaben, yang berasal dari
kata api, yang mengandung makna upacāra pembakaran jenasah.
Rangkaian upacāra selanjutnya, adalah menyucikan Ātma yang
terbungkus dengan Suksma Śarīra itu, sehingga benar-benar menjadi suci dan
tidak terikat dengan badan halusnya itu. Upacāra penyucian Ātma agar tidak
terbelenggu oleh badan halus ini disebut dengan berbagai istilah, di antaranya
Nyekah (dari kata sekar, karena simbol perwujudan roh atau puṣpaśarīra berupa bunga, dan badannya terbuat dari daun beringin
sejumlah 108 lembar), Ngeroras (karena umummya upacāra ini dilakukan setelah 12
hari upacāra Ngaben), Mamukur (dari kata bukur, yang merupakan tempat abu puṣpaśarīra baik berupa bokor, maupun sebuah usungan dengan atap
bertingkat-tingkat, seperti meru). Disamping itu dikenal juga dengan upacāra
Maligya dan sebagainya.
Rangkaian terakhir, dari upacāra ini adalah upacāra mensthanakan
Ātma yang telah berubah status menjadi Piṭṛa atau DewaPiṭṛa, yang di India
maupun pada jaman Majapahit disebut dengan upacāra Śrāddha.
Berdasarkan uraian tersebut, yang dimaksud upacāra Mamukur,
adalah upacāra kelanjutan dari upacāra Ngaben, berupa penyucian Ātma agar tidak
terbelenggu oleh badan halus, mengubah dan meningkatkan status Ātma menjadi Piṭṛa atau DewaPiṭṛa untuk nantinya setelah disthanakan,
dapat disembah oleh pratisantana atau anak cucu keturunannya.
B. PELAKSANAAN UPACĀRA MAMUKUR DAN DEWAPIṬṚA PRATIṢṬHA
Pelaksanaan upacāra Mamukur, seperti upacāra-upacāra Yajña
lainnya disesuaikan dengan kemampuan Sang Yajamana, yakni mereka yang
melaksanakan upacāra tersebut. Secara garis besar, sesuai kemampuan umat
dibedakan menjadi 3 kelompok, yakni yang besar (uttama), menengah (madhya) dan
yang sederhana (kanistama). Pada upacāra Mamukur yang besar, rangkaian
upacāranya terdiri dari:
1. Ngangget Don Bingin, yakni upacāra memetik daun beringin
(kalpataru/kalpavṛiksa) untuk dipergunakan sebagai
bahan puṣpaśarīra (simbol badan roh) yang nantinya dirangkai sedemikian
rupa seperti sebuah tumpeng (dibungkus kain putih), dilengkapi dengan prerai
(ukiran/lukisan wajah manusia, laki/perempuan) dan dihiasi dengan bunga ratna.
Upacāra ini berupa prosesi (mapeed) menuju pohon beringin diawali dengan tedung
agung, mamas, bandrang dan lain-lain, sebagai alas daun yang dipetik adalah
tikar kalasa yang di atasnya ditempatkan kain putih sebagai pembungkus daun
beringin tersebut.
2. Ngajum, Setelah daun beringin tiba di tempat upacāra, maka untuk
masing-masing perwujudan roh, dipilih sebanyak 108 lembar, ditusuk dan
dirangkai sedemikian rupa kemudian disebut Sekah. Jumlah Sekah sebanyak roh
yang akan diupacārakan, di samping jumlah tersebut, dibuat juga untuk Lingga
atau Sangge. Setelah Sekah dihiasi seperti tubuh manusia dengan busana
selengkapnya (berwarna putih), dilakukan upacāra Ngajum, yakni mensthanakan roh
pada Sekah tersebut, sekaligus ditempatkan di panggung upacāra yang disebut
Payajñan (tempat upacāra Yajña yang khusus untuk hal itu, terbuat dari batang
pinang yang sudah dihaluskan).
3. Amet Toya Hening. Rangkaian upacāra selanjutnya, dapat dilakukan
pada pagi hari menjelang hari "H", berupa prosesi (mapeed) mengambil
air jernih (toya hening) sebagai bahan utama air suci (Tirtha) bagi pandita atau
dwijati yang akan memimpin upacāra yajña Mamukur tersebut. Toya hening tersebut
ditempatkan di bale Pamujan (Pawedan) di depan panggung Payajñan.
4. Mapinton atau Mapajati, Upacāra ini berupa prosesi (mapeed) bagi
puṣpaśarīra (roh yang diupacārakan) untuk mempermaklumkan kepada
para dewata yang bersthana pada pura-pura terdekat, utamanya pura untuk
pemujaan leluhur (Kawitan).
5. Mapradaksina, Upacāra ini sering disebut Mapurwadaksina, yakni
prosesi (mapeed) bagi puṣpaśarīra (yang dipangku atau
dijunjung oleh anak cucu keturunannya, memakai bhusana serba putih), dilakukan
pada hari "H", setelah upacāra Mapinton, mengelilingi panggung
Payajñan sebanyak 3 kali (dari arah Selatan ke arah Timur) mengikuti jejak
lembu putih (sapi gading), yang dituntun oleh gembalanya, di atas hamparan kain
putih, dilakukan secara khusuk , diiringi gamelan gambang, saron atau
selonding, gong gede, kidung, kakawin, pembacaan parwa (Mahābhārata) dan
Putrupasaji (biasa oleh Walaka senior).
6. Puncak Upacāra (Pandita Muput Yajña). Bersamaan dengan upacāra
Mapradaksina, seorang atau beberapa pandita (Sulinggih) yang memimpin
pelaksanaan upacāra, melakukan pula upacāra;
a. Melaspas
bukur atau madhya, atau padma anglayang, alat untuk mengusung puṣpaśarīra yang telah disucikan (di-pralina) berupa meru (beratap
tumpang) dihias dengan hiasan kertas emas, kemudian ditempatkan di dekat
panggung Payajñan.
b. Ngaliwet, yakni upacāra menanak nasi sebagai saji tarpana (di
India umumnya nasi tersebut dibuat bulat seperti bola pingpong
(penek/pulung-pulung kecil) disebut pinda, sebanyak 108 buah, dipersembahkan
kepada roh yang diupacārakan, di samping dipersembahkan kepada para dewata dan
leluhur). Memasaknya dilakukan di depan Sanggar Tawang (depan panggung
Payajñan) dipimpin oleh pandita. Beras yang dipersiapkan di atas nyiru berisi
lukisan padma dan wijaksara (huruf suci) tertentu dituangi empehan (susu) dan
madu (madhuparka).
c. Ngenyitin Damar Kurung (Menyalakan Lampu Terkurung/Lampion) yang
ditempatkan di sebelah panggung Payajñan atau di pintu masuk areal upacāra.
d. Ngilenang Padudusan, yakni melaksanakan upacāra penyucian
ditujukan kepada Sanggar Tawang (Sanggar Surya), untuk memohon perkenan para
dewa/dewata turun menyaksikan dan menganugrahkan keberhasilan Yajña tersebut,
di panggung Payajñan, untuk menyucikan roh-roh yang diupacārakan.
e. Muspa, yakni upacāra persembahyangan yang didahului pemujaan
kepada Sang Hyang Surya sebagai saksi agung alam semesta, kemudian kepada para
dewata dan leluhur, serta sembah untuk pelepasan roh (Ātma) dari ikatan Suksma
Śarīra yang diikuti oleh Sang Yajamana dan seluruh keluarga besarnya.
f. Pralina,
yakni upacāra tahap akhir dilakukan oleh pandita (Sulinggih) sebagai simbol
pelepasan Ātma dari ikatan Suksma Śarīra.
g. Papendetan, yakni mempersembahkan tari-tarian, bahwa tapa
pelepasan roh telah dilaksanakan, para leluhur sesaat lagi akan menuju alam
sorga.
h. Ngeseng Puṣpalingga, yakni membakar puṣpaśarīra (wujud roh) di atas dulang dari tanah liat atau dulang
perak, dengan sarana sepit, panguyegan, balai gading dan lain-lain, dengan api
pembakaran yang diberikan oleh pandita pemimpin upacāra. Upacāra ini sangat
baik dilakukan pada dini hari, saat dunia dan segala isinya dalam suasana
hening guna mengkondisikan pelepasan Ātma dari keduniawian.
i. Sekah tunggal. Selesai upacāra Ngeseng, maka arang/abu dari puṣpaśarīra dimasukkan ke dalam degan (kelungah) kelapa gading,
dibungkus kain putih dan dihias dengan bunga harum selanjutnya disthanakan di
dalam bukur, di atas padma anglayang atau di dalam bokor perak, diikuti dengan
persembahyangan oleh keluarga.
7. Nganyut Sekah
ke Segara. Upacāra ini merupakan tahap terakhir dari upacāra Mamukur, dapat
dilakukan langsung selesai upacāra Ngeseng Sekah (upacāra ini umumnya disebut
Ngalanus) atau keesokan pagi harinya disebut upacāra Ngirim. Setelah tiba di
tepi pantai, arang/abu yang ditempatkan dalam kelungah kelapa gading
dikeluarkan dan ditebarkan di tepi pantai yang didahului dengan upacāra
persembahan sesajen kepada Sang Hyang Baruna, sebagai dewata penguasa laut,
sekaligus permohonan penyucian terhadap roh yang diupacārakan dan diakhiri
dengan persembahyangan oleh keluarga.
8. Dewapiṭṛa Pratiṣṭha (Ngalinggihang Dewapiṭṛa/Dewapitara). Upacāra ini bukan merupakan bagian dari upacāra
Mamukur, melainkan merupakan upacāra kelanjutan dari upacāra Mamukur itu.
Upacāra ini sering disebut Ngalinggihang Dewa Hyang, merupakan tradisi lebih
lanjut dari men-dharma-kana leluhurnya pada pura Kawitan masing-masing yang
dirangkai pula dengan upacāra Nyagara-Gunung atau Majar-ajar, seperti ke pantai
Goalawah dan pura Dalem Puri, Penataran Agung Besakih.
Demikian sepintas pelaksanaan upacāra Mamukur dan Dewapiṭṛa Pratiṣṭha yang umum dilakukan oleh umat
Hindu di Indonesia, khususnya umat Hindu di daerah Bali.
C. MAKNA UPACĀRA MAMUKUR & DEWAPIṬṚA PRATIṢṬHA
Memperhatikan rangkaian pelaksanaan upacāra Mamukur dan Dewapiṭṛa Pratiṣṭha seperti tersebut di atas, maka
makna yang dikandung dari rangkaian upacāra tersebut adalah:
1. Ngangget Don Bingin. Pohon bingin atau beringin di dalam kitab
suci veda dan susastra Hindu lainnya disebut Kalpataru atau Kalpavṛikṣa. Sejenis dengan pohon ini disebut
pula Asvatta. Pohon beringin pada mulanya tumbuh di sorga dan untuk kemakmuran
umat manusia, pohon ini diturunkan ke bumi sebagai simbolis untuk memperoleh
kemakmuran. Pohon kalpataru ini benyak dipahatkan pada dinding luar mandir atau
candi, seperti halnya dapat kita lihat di candi Prambananan, Jawa Tengah.
Upacāra Ngangget Don Bingin mengandung makna untuk memantapkan hati sang
Yajamana beserta keluarganya untuk menyelenggarakan upacāra penyucian arwah
leluhur dengan menjadikan daun beringin (108 lembar) sebagai badan spiritual
bagi arwah yang akan disucikan ini. Arwah atau roh yang disucikan itu
diharapkan natinya mencapai sorga, juga sering disebut "munggah ring ron
baingin".
2. Ngajum Puṣpaśarīra atau Puṣpalingga. Upacāra ini mengandung makna supaya leluhur yang
diupacārakan berkenan hadir dan menjadikan Puṣpaśarīra
sebagai perwujudan badannya. Ātma yang akan disucikan sebagai puruûa, sedang Puṣpaśarīra sebagai prakṛti-nya.
3. Mapradaksina atau mapurwadaksina. Upacāra ini mengandung makna
untuk menurunkan roh leluhur yang akan diupacārakan berkenan turun hadir dalam
upacāra, selanjutnya mengikuti jejak lembu putih (sapi gading) sebagai simbol
mengikuti jalan ketuhanan, karena lembu putih adalah kendaraan dewa Śiva.
Melalui upacāra ini dimohon kehadapan Sang Hyang Śiva supaya leluhur yang
diupacārakan dapat mencapai sorga, sthana Sang Hyang Śiva di gunung Kailaśa di
arah Ttimur Laut yang menjulang tinggi.
4. Ngaliwet. Upacāra ini mengandung makna sebagai persembahan atau
bekal roh untuk selanjutnya dipersembahkan kepada Sang Hyang Śiva. Persembahan
berupa nasi yang dibuat berbentuk seperti bola pingpong itu di India disebut
Pióîa atau Piṭṛapinda. Dalam upacāra Ngaben, umat Hindu mempersembahkan bubur
bundar (bubur-pitara) sebagai persembahan roh kepada Sang Hyang Yama, putra
Sang Hyang Sūrya (Śiva) sebagai penguasa alam kematian (Piṭṛaloka), demikian pula dalam upacāra memukur ini, roh yang telah
disecikan disebut Piṭṛa atau Pitara dimohon pula dapat
membimbing kehidupan anak cucunya di dunia ini untuk mencapai kesejahtraan dan
kebahagiaan.
5. Ngeseng Puṣpaśarīra. Inilah puncak acara untuk
melenyapkan keterikatan Ātma dengan Suksma Śarīra atau keduniawiannya, sehingga
Ātma yang bersangkutan dapat mencapai sorga bahkan lebih tinggi lagi yakni
mencapai Moksa, bersatu dengan Hyang Widhi. Upacāra ini didahului dengan
Mapadudus, yang mengandung makna penyucian, upacāra Tarpana, mempersembahkan sajian
kepada roh yang diupacārakan, Ngelepas Ātma (membebaskan ma dari keterikatan
duniawi) dan Muspa atau persembahyangan guna memohonkan Ātma tersebut bebas
dari keduniawian, untuk selanjutnya dapat disembah oleh anak cucunya untuk
memohon wara nugraha dan perlindungan.
6. Nganyut Sekah ke Segara. Upacāra ini mengandung makna bahwa abu
bekas Puṣpaśarīra ini dikembalikan ke usur alam yang disebut Pañca
Māhabhūta yang disimboliskan dengan air. Air laut berfungsi sebagai rangkaian
akhir hanyutnya kekotoran dunia, sekaligus pula sebagai tempat penyucian dan
tirtha Amṛita (air kehidupan dan keabadian).
7. Dewapiṭṛa Pratiṣṭha. Upacāra ini mengandung makna
permohonan kepada Ātma yang disucikan itu berkenan untuk bersthana pada pura
keluarga, Sanggah Kamulan, pamarajan atau Kawitan, untuk disembah, dimohon wara
nugraha dan perlindungannya. Upacāra ini dirangkai pula dengan upacāra
Nyagara-gunung atau Majar-ajar mengandung makna memberitahukan kepada Sang
Hyang Widhi dan para leluhur sebagai perwujudan Piṭṛa ṛnam, bakti anak cucu kepada
leluhurnya.
Demikian sepintas makna upacāra Mamukur dan Dewapiṭṛa Pratiṣṭha yang dilakukan oleh umat Hindu
untuk menunjukkan bakti pratisantana (anak cucu) kepada leluhurnya, dengan
demikian hubungan yang harmonis dengan Hyang Widhi, para dewata dan leluhur
dapat diwujudnyatakan untuk kesejahtraan dan kebahagian hidup umat manusia.
Om Santih Santih Santih Om
Written by I W Sudarma (Shri
Danu DP)
0 komentar
Posting Komentar