Makna Hari Raya Galungan

Sejarah Galungan, dapat kita petik dari pustaka Kidung Panji Malat Rasmi, yang diperkirakan pada jaman Singhasari / Jenggala, pada abad ke-11 di Jawa Timur, Galungan sudah dirayakan. 
Demikian pula dalam kitab Pararaton, jaman akhir Kerajaan Majapahit, pada abad ke-16,  perayaan yang semacam ini sudah juga dirayakan. Tegasnya di Jawa, Galungan itu sudah sejak lama dirayakan. 
Demikian pula di pulau Bali, hal ini dapat kita maklumi bahwa Bali lebih-lebih pada  tahun 1343 Masehi,  Bali banyak sekali menerima pengaruh budaya dan agama dari Majapahit, “apan sima  acara ring wilwatikta winawa ring bangsul“.
Kalau diperhatikan dari segi arti kata “galungan” artinya berperang, apa yang harus kita perangi ? Kalau kita perhatikan isi dari pustaka-pustaka yang ada di Bali, seperti : Lontar Jaya Kasunu, Mayadanawantaka, Sundarigama, dan banyak lagi pustaka yang memuat tentang Galungan.

Parisada Hindu Dharma, menyimpulkan, bahwa upacara Galungan, diberi arti ” Pawedalan Jagat” atau “Oton Gumi“. Hal ini tidak berarti bahwa Gumi/Jagat itu lahir pada hari Buda Kliwon wuku Dungulan. Melainkan pada hari itulah umat Hindu di Bali khususnya, menghaturkan “maha suksmaning idhep” kehadapan Ida Sanghyang Widhi beserta dengan manifestasi-Nya, atas terciptanya dunia beserta isinya. Pada hari Galungan-lah umat Hindu “angayubaya” bersyukur atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa, yang telah menciptakan alam dengan segala isinya.
Itulah keluhuran arti dari pada upacara itu. Ngaturang maha suksmaning idhep dan angayubagya, adalah suatu pertanda dengan jiwa yang sadar, kita telah berhutang budhi.

Sehubungan dengan pelaksanaan upacara itu pada dasarnya telah diberi tuntunan oleh para orang-orang suci, umat merayakannya dan persiapannya jauh hari sebelum Galungan. Dalam ajaran Hindu, bahwa perayaan Galungan sudah mulai dipersiapkan 25 hari sebelumnya, yakni pada Saniscara Kliwon Wariga, yang disebut Tumpek Wariga, Tumpek Pengarah, Tumpek Uduh, atau denga kata lain “Tumpek Pengumuman“.
Pada hari Tumpek ini adalah turunnya Sanghyang Dharma, untuk memberi tuntunan kepada umat manusia agar ingat dan sadar akan kewajibannya. Dalam hal ini yang dipentingkan adalah suatu “sikap bathin” yang mendalam, menjalankan Dharma, khususnya swadharma.
Dalam pustaka Sundarigama, dalam hubungannya dengan Galungan, mengajarkan kepada kita, bahwa berturut-turut sejak Redite Paing Dungulan, turunnya Sang Kala Tiga. Yang dimaksud dengan Sang Kala Tiga itu, ialah : Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulandan Sang Bhuta Amangkurat. Mereka adalah simbul “kala” yang berarti kekuatan alam, yang mendapat pengaruh “prana“, maka sering disebut Bhuta Kala. Bhuta Kala itu sering menggoda kehidupan manusia, maka itulah kita harus teguh menjalankan Dharma. Agar supaya kita tidak dapat dikuasai oleh Adharma.
Kalau kita perhatikan tentang Sang Kala Tiga itu, yakni :
1.     Sang Bhuta Galungan. Galungan berarti berperang, bertempur atau berjuang. Pada hari Redite kita telah kedatangan Kala, yang menyerang kita. Apakah yang harus kita lakukan ?
2.     Sang Bhuta Dungulan. Dungulan artinya mengalahkan atau menguasai. Apakah kita harus menyerah diri ?
3.     Sang Bhuta Amangkurat. Amangkurat berarti menguasai dunia beserta isinya. Maksudnya menguasai Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit. Bagaimana caranya agar kita tidak dapat dikuasai ?

Maka pada hari-hari itulah kita harus waspada, mengendalikan diri, “den prayatna anyekung jnyana nirmala, lamakane tan kasusupan“. Hendaknya umat meneguhkan hati agar jangan sampai dikuasai atau dipengaruhi oleh sifat-sifat Adharma. Ingatlah ada upacara “mabyakala” pada hari Panampahan Galungan. Menurut pustaka lontar Sundarigama dan Jaya Kasunu, pada hari Galungan, Ida Sanghyang Widhi Wasa menurunkan anugrah berupa kekuatan iman dan kesucian bathin untuk dapat memenangkan Dharma dari Adharma.

Apakah Dharma itu ? Dalam Agastya Parwa disebutkan, Dharma adalah : Tapa, Yadnya danKirti. Sedangkan Adharma adalah krodha, moha dan loba. Tapa artinya “umeret ikang indriya“, artinya harus mampu mengendalikan diri. Yadnya artinya “manghanaken homa“, artinya melakukan korban dengan tulus ikhlas. Kirti artinya “manghanakaen yasa“, yakni berbuat yang baik dan benar. Sedangkan Krodha artinya sifat pemarah, Moha artinya kebingungan, Loba artinya oba atau tamak.
Sedangkan dalam Wrehaspati Tattwa, yang disebut dengan Dharma, yaitu :

1.     Sila, artinya berpegang teguh pada prilaku yang baik dan benar.
2.     Yajna, artinya melakukan korban dengan tulus ikhlas.
3.     Tapa, artinya mengendalikan diri.
4.     Dana, artinya dapat melakukan sedekah.
5.     Prawrajya, artinya dapat menjauhkan diri dari kepentingan-kepentingan duniawi.
6.     Bhiksu, artinya hidup suci.
7.     Yoga, artinya selalu dapat menghubungkan diri dengan Sanghyang Widhi.
-

Hubungan Galungan dengan Ngusabha Desa
Ngusabha Desa adalah upacara mohon kerahayuan jagat, khusunya palemahan Desa. Jika diperhatikan pada saat Upacara Ngusabha Desa, yang dipuja adalah Ida Sanghyang Widhi Wasa, dalam manifestasi-Nya sebagai Dewi Pretiwi dan Dewi Gangga. Maka pertemuan tanah dengan air akan menimbulkan kesuburan dan keselamatan.
Jika memperhatikan makna Galungan dan makna Ngusabha Desa, mempunyai hubungan dan makna filosofis yang amat mendalam. Galungan sebagai lambang penciptaan alam beserta isinya, sedangkan Ngusabha Desa adalah memohon kesejahtraan alam.
Dengan demikian Ngusabha Desa yang juga dilaksanakan pada Rarahinan Galungan, memberikan makna yang sungguh-sungguh luar biasa. Semoga dengan berlangsung upacara ini masyarakat khususnya mendapatkan anugrah kesejahtraan lahir bathin, aman, sejahtra dan rahayu.
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas antara lain :
1.     Dalam menyambut dan merayakan Rarahinan Galungan, hendaknya bergembiralah atas waranugraha Hyang Widhi dalam batas-batas kesusilaan agama.
2.     Terangkan hati, agar menjadi “sura dhira dharaka“, berani, kokoh dan kuat, dalam menghadapi hidup di dunia.
3.     Hemat dan sederhanalah dalam menggunakan biaya.
4.     Mohon waranugraha Hyang Widhi dengan ketulusan dan kerendahan hati
5.     Jalankan Dharma, lebih-lebih Swadharma dengan sepenuh hati.



Penulis : I Wayan Adi Sudiatmika


/~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~\
Kalau ada yang kurang jelas pada Artikel
» Makna Hari Raya Galungan
diatas atau seandainya ada Link yang rusak bisa disampaikan lewat Komentar
mudah-mudahan saya bisa segera memperbaiki


0 komentar

Posting Komentar


Denkayu Delodan - © Copyright 2012 - All rights reserved
Powered by Blogger