IDA PANDITA MPU JAYA ACHARYA NANDA |
Kajang
merupakan suatu piranti pitra dalam upacara pengabenan atau disebut juga
sebagai bajunya sang atma dalam perjalanannya ke dunia akhirat.
Dalam pemahaman awam umat Hindu di Bali,
kajang memberikan identitas kewangsaan (klan).
Tidak jarang kajang ini sering menjadi
sebuah kebanggaan identitas suatu keluarga.
Bahkan tidak sedikit keluarga yang
mengaburkan catur wangsa dengan catur warna.
Sehingga dalam ritual Pitra Yadnya
(pengabenan) sering muncul permasalahan, khususnya dalam ngaben kolektif.
Yakni suatu soroh itu menjadi eksklusif.
Padahal kalau kita kembali pada intisari ngaben adalah
pengembalian unsur Panca Mahabhuta ke asalnya.
Seperti, unsur padat pada badan manusia
kembali ke pertiwi, unsur cair akan kembali pada apah, unsur panas kembali ke
api, unsur angin kembali bergabung pada udara, dan unsur ruang kosong pada
manusia kembali pada akasa.
Sementara, Sang Atma yang selama ini
berada di dalam tubuh manusia saat masih hidup akan kembali pada Brahman. Dalam
menerima pahala di alam akhirat, itu tergantung dari karmanya selama masih
hidup.
Kadang pandangan awam mengatakan, kalau
dia dari soroh brahmana, maka surga yang didapatkannya akan lebih baik dari
soroh lainnya. Itu merupakan pandangan keliru.
Atma
setelah lepas dari badan raga ini sudah tidak ada lagi ikatan soroh.
Kajang ini merupakan simbol dari suksma
sarira atau pembungkus Sang Hyang Atman.
Memang betul dapat dikatakan sebagai baju.
Tapi bukan baju untuk badan material,
tetapi pembungkus kecerdasan spiritual.
Dalam kajang dilukiskan aksara Ang
(purusa) dan Ah (material), sementara aksara-aksara lainnya hanya sebuah
variasi tergantung kreativitas keturunannya.
Fungsi kajang tidak menentukan orang
mendapatkan tempat yang baik.
Tetapi sebagai surat keputusan yang diberikan setelah
upacara pengabenan, kinang askara.
Kinang askara merupakan sebuah proses
pencerdasan spiritual yang dibangun, untuk menyadarkan Sang Atma bukannlah
benda material tetapi roh.
Melalui pengetahuan yang tertoreh dalam
rajahan-rajahan kajang, itu sebenarnya untuk menyadarkan Sang Hyang Atman bahwa
dia akan kembali pada Tuhan.
Bukan kembali pada sumber sorohnya.
Sekali
lagi peranda tegaskan, dengan menuliskan identitas sorohnya di kajang, tidak
menentukan seseorang mendapatkan surga.
Yang menentukannya tetaplah karma
seseorang.
Maka dari itu, kita tidak boleh menyebut
soroh itu lebih rendah derajatnya dari soroh kita.
Kita ambil contoh seorang pegawai.
Dia pegawai yang hanya lulusan SMA.
Meskipun dia terlahir dari keluarga orang
kaya, tidak mungkin gajinya akan setara dengan gaji pegawai yang tamatan strata
satu (S1).
0 komentar
Posting Komentar